Sabtu, 04 Juni 2016

pendekatan kiri islam hasan hanafi

              

                 PENDEKATAN KIRI ISLAM HASAN HANAFI
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. M. Samsul Hady, M.Ag 





oleh
UMI FATMAYANTI
NIM. 14761018

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan kepada zaman yang berisi ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
            Penulis mengajukan makalah ini guna menyelesaikan tugas mandiri yang di berikan oleh dosen mata kuliah Pendekatan Studi Islam, Dr. M. Samsul Hady, M.Ag dan agar kalangan intelektual terutama mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin bangsa di masa mendatang dapat memahami Pendekatan Studi Islam sehingga dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan pihak perpustakaan yang telah meminjamkan berbagai buku mengenai tema yang penulis angkat sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan pada waktunya.
            Penulis juga mohon maaf kepada semua pihak, apabila masih banyak terdapat kesalahan dalam penyelesaian makalah ini. Karena penulis juga masih dalam proses belajar dan masih membutuhkan bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.
Kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Batu, 6 Juni 2015


           
Penulis



DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................       I
Daftar Isi...........................................................................................................      II
Bab I  : Pendahuluan.........................................................................................       1
A.    Latar Belakang Masalah........................................................................       1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................       2
C.     Tujuan Penulisan...................................................................................       2
Bab II : Pembahasan.........................................................................................       3
A.    Biografi Hassan Hanafi..........................................................................       3
B.     Latar Belakang Pemikiran Hassan Hanafi...............................................      4
C.     Tauhid...................................................................................................    10
D.    Arti Kiri islam .......................................................................................     11
E.     Latar Belakang dan Momentum........................................................... ..    13
F.      Revitalisasi Khazanah Intelektual  Klasik............................................   ...  14
G.    Menentang Peradaban Barat.................................................................     16
H.    Realitas Dunia Islam..............................................................................     19
I.       Agama Dan Revolusi Pembebasan....................................................... .     21
J.       Integritas Bangsa ................................................................................. ,    24
Bab III: Penutup...............................................................................................     26
A.    Kesimpulan...........................................................................................     26
Daftar Pustaka .................................................................................................     27

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Tradisi ada dua, tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi, tradisi Negara dan rakyat, budaya resmi dan budaya perlawanan, dengan demikian tidak ada tradisi secara mutlak, masing-masing bersifat total, tidak terbagi-bagi, tidak terpecah-pecah dan tidak terpisah-pisah. Tradisi menjadi tradisi kekuasaan karena ia memberikan legitimasi kepada kekuasaan politik yang berkuasa dan berusaha mencabut legalitas kekuasaan dari tradisi oposisi. Bersebrangan dengan tradisi diatas muncul tradisi oposisi yang menetapkan manusia memiliki kekuasaan dan kemampuan bernalar secara independen  tema tradisi muncul ketika krisis politik yang paling berbahaya dihadapi oleh bangsa Arab pasca revolusi modern.
Didalam Islam terdapat segala sesuatu termasuk didalamnya kemodrenan, bahwa kita tidak perlu memerlukan kemodrenan lain diluar Islam dari timur ataupun barat, kemajuan masyarakat dapat berwujud setelah adanya konsep kemajuan, maka mencari konsep kemajuan menjadi syarat bagi teralisasinya kemajuan. Kemajuan yang dimaksud disini bukan kemanuan materi melainkan kemajuan sebagai wawasan atau sebagai struktur mental, kemajuan sebagi sense atau sebagai kesadaran, sebagai tujuan, atau sasaran, sebagai tuntutan sementara Islam kiri berusaha mentransfer masa kini ke fase lain dengan memegang masa lampau dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan kemajuan dan mengandalkan sendi-sendi kemajuan.
Sejak ajaran Islam yang dibawa nabi Adam hingga nabi Muhammad adalah ajaran kiri, dalam arti Islam adalah ajaran praktis yang selalu membrontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif yang artinya melawan penindasan serta menjunjung tinggi penegakan kesetaraan dan keadilan.



B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah biografi Hassan Hanafi
2.      Bagaimanakah isi pemikiran kiri Islam Hassan Hanafi?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah;
1.      Untuk mengetahui biografi Hasan Hanafi
2.      Untuk mengetahui isi pemikiran kiri Islam Hasan Hanafi






 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Hassan Hanafi
  Hasan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Repubublik Arab Mesir pada tanggal 13 Februari 1935, keluarganya berasal dari propinsi banu Swaif, kemudian mereka pindah ke kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal dari Al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah banu Mur, kakek Hassan Hanafi memutuskun untuk menetap dinegeri seribu menara (Mesir) ketika ia singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji.
 Pada usia sekitar lima tahun, Hanafi mulai menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid berlangsung dijalan Al-Banwahi. Pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di Madrasah Sulayman Ghawish. Bab Al-Futuh suatu daerah yang berbatasan dengan benteng Salahuddin. Setamat dari sekolah itu Hanafi masuk kesekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin namun ketika hendak memasuki tahun kelima tahun terakhir pendidikan tersebut ia pindah mengikuti jejak kakaknya ke sekolah Silahdar, sekolah barunya itu berada di komplek Al-Hakim Bi Amrillah. Disekolah itu pula Hanafi banyak belajar bahasa asing. Pendidikan menengah atasnya ditempuh Hanafi disekolah menengah atas Khalil Agha.
  Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari kuliyyat Al-Adab (Fakultas Sastra) jurusan universitas filsafat kairo. Setelah itu Hanafi pergi ke Prancis untuk memperdalam filsafat di universitas Sorbonne, dengan spesialisasi filsafat barat modern dan pra modern selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis dalam rentang waktu tersebut. tradisi, pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Pada tahun awal keberadaannya di Perancis ia sempat mengikuti kursus musik. Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai Sur La Method D’Exegese (esai tentang metode penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.[1] Upaya Hanafi itu merupakan suatu eksperimen yang menarik sebab infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan yang sama sekali tidak memiliki persetase kelanggengan diterapkan pada ketangguhan kerangka berfikir yang dimaksudkan untuk mendukung keabadian Al-Quran .
Tahun 1969 Hanafi menjadi professor tamu, pada tahun 1970  mengajar di Belgia, tahun 1971 di Amerika Serikat, 1975 di Kuwait, 1979 di Maroko, 1982-1984 di Jepang, 1985 di Uni Emirat Arab. Hanafi juga berkunjung ke negeri Belanda, Swedia, Protugal, Spanyol, India, Sudan dan Saudi Arabia digunakan untuk mengamati secara langsung kontradiksi dan penderitaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1975 Hanafi kembali kemesir dengan membawa obsesi lamanya yaitu membangun kesadaran diri lewat penelusuran dan pengkajian serta penafsiran ulang atas tradisi kaum klasik. Keterlibatannya pada Gerakan anti pemerintahan Anwar Sadat menjadikannya dipecat dari universitas kairo. Ia tercartat sebagai pelopor berdirinya organisasi perhimpunan para filosof Mesir.[2]
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.[3]

B.       Latar Belakang Pemikiran Hassan Hanafi 
Pemikiran  bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara sosiologis.  Karena itu, pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari akar sosialnya, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut. Dengan demikian, pemikiran Hassan Hanafi tidak bisa di pahami tanpa meletak-kannya dalam suatu posisi sejarah atau tradisi panjang yang melingkarinya, yakni terdapat pada dua hal

1.    Kondisi Sosial Politik
Mesir, yang terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia,  memiliki posisi yang strategis. Disamping tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk dan Negara-negara besar pada masa lampau. Arti strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya terusan Suez pada tahun 1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai Perancis, secara strategis berada dibawah kontrol Inggris yang menyadari kepentingan terusan ini bagi kepentingan imperiumnya.
 Pada akhir abad XIX situasi politik, sosial dan intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab dengan berakhirnya Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme yang di tunjang oleh berbagai faktor, yaitu;
a.       Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang melukai  rasa kebangsaan Mesir.
b.      Pembiayaan besar bagi tentara berpenghasilan tetap
c.       Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang mengurangi persediaan buruh Mesir, dan
d.      Naska Empat belas pasal Wilson serta deklarasi Inggris-Perancis yang menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab yang besar, guna meraih kemerdekaan penuh dari pengawasan asing. Perang Dunia II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial dan ekonomi Mesir yang serupa pada masa Perang Dunia I, dan pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga sebanding. 
 Hal ini juga merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing yang condong berbentuk kekerasan. Jika sesudah Perang Dunia I, Wafd menjadi penyambung lidah nasionalisme Mesir, setelah Perang Dunia II perang ini diambil alih oleh kelompok lain yang lebih ekstrim. Disayap kiri terdapat partai Komunis dan di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan Islam (al-Ikhwan al Muslimin) didirikan oleh Syeikh Hassan Al-Banna (1929) di Ismailia, yang pro Islam dan anti Barat[4]

2.    Kondisi Gerak Intelektual
 Tahun 1798, awal masuknya penjajah Napoleon Bonaparte, dan tahun 1805, tahun diangkatnya Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir, dianggap sebagai awal masuknya pengaruh Eropa ke Mesir secara formal. Muhammad Ali Pasha adalah tokoh pertama yang  menerima  kehadiran modernisasi Mesir. Usaha modernisasi ini di awali dengan kebijakannya untuk memperbaiki Mesir di hampir segala bidang kehidupan, seperti bidang pertanian, administrasi, pendidikan, kemili-teran, dan industri. Semua ini, menurut dia, bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Mesir.
  Dengan modernisasi disegala bidang menjadikan Mesir masuk masa  Liberal (liberalage). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan  munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik. Dengan berkembangnya pemahaman liberal di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-Nahdah (renaissance).  Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan mengasimilasi prestasi-prestasi peradaban Eropa modern, sementara kebudayaan klasik Arab sedang mengalami kemunduran. Secara garis besar dapat dilihat adanya tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu :
a.     The Islamic Trend (Kecenderungan pada Islam), akhiran ini di wakili oleh Rasyid Ridha (1865-1935) dan Hasaan Hanafi, Hasan Al-Banna (1906-1944)
b.    The Syntetic Trend (Kecenderungan mengambis sintesa), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudyaaan Barat.  Kelompok  ini diwakili oleh Muhammad Abduh, Qasim Amin (1865-1908), Ali ‘Abd, Al-Raziq (1888 – 1966).
c.    The Rational Scientific and Liberal Trend (Kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas). Fisik pangkal pemikiran ini sebenarnya bukanlah Islami melainkan peradaban Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Termasuk dalam kelompok ini antara lain Luthfi as-Sayyid dan para emigran Syiria yang berlari ke Mesir.
  Hassan Hanafi tidak begitu setuju dengan gerakan pemikiran di atas, walau di masa perjalanan pemikirannya sempat berpihak pada gerakan pertama yaitu Ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan  dipengaruhi oleh gerakan pemikiran kedua dan ketiga, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Mesir dan gerak intelektul di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan uniknya.[5]
  Sebagaimana yang kita telah pelajari, ada hal yang berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan menggunakan pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk menemukan universalitas pesan moral Al-Quran yang tidak jarang bersembunyi di balik aturan-aturan legal spesifiknya.[6] Secara praksis penafsiran ajaran agama dalam teks-teks keagamaan baik Al-Quran maupu hadith dari masa ke masa dari tokoh-tokoh ulama yang berbeda. Melahirkan bentuk tafsir yang berbeda dengan metode maupun pendekatan yang bermacam-macam.[7]
    Dalam perkembangan terakhir dunia, pemikiran keagamaan mulai memperhatikan pendektan historis di samping pendekatan normatif.[8]  Pendektan historis ini berusaha mengkaji agama dengan menghadapkan teks dengan realitas masa lalu dan realitas kekinian.[9] Salah satu bentuk pendekatan historis tersebut adalah pendekatan hermeneutika dalam penafsiran teks klasik.[10]
   Sedangkan model pendekatan yang diajukan Arkoun pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat teoritis bagi kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks. Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami Al-Quran. Pada titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika, linguistik modern dan hermeneutika kontemporer.[11]
   Al-Qur'an sebagai teks, berhadap-hadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Karena itu diperlukan hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik, tidak saja karena tafsir semacam itu telah kehilangan konteks eksistensialnya, tetapi juga  perkembangan metodologis dalam teori-teori penafsiran kontemporer (diyakini) mampu menyajikan dimensi humanistik Al-Qur'an, yang selama ini tidak jarang bersembunyi di balik kekakuan teks-teks yang bernuansa teologis.
  Jika kita menelusuri hermeneutika Hassan Hanafi bercorak transformatif humanistik tersebut segera akan ditemukan bahwa ada satu hal yang selama ini terabaikan atau sengaja diabaikan oleh muffasir klasik yaitu fungsi performatif audiens yang menjadi tujuan penafsiran metode yang selama ini hanya memperhatikan hubungan antara penafsir dan teks tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks, hal ini mungkin dapat di maklumi sebab  mufassir klasik lebih menganggap penafsiran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, sehingga harus bersih dari kepentingan mufassirnya, atau barangkali trauma  pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan maha dahsyat pada masal awal Islam.
 Di dalam bukunya Dialog dan Revolusi I, Hassan Hanafi menjelaskan tentang Hermeneutika sebagai askiomatia sebuah kasus Islam di sini dijelaskan lebih lanjut bahwasannya Hermeneutika bukan hanya berarti “Ilmu Interpretasi”,  yakni suatu teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ketingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua, yakni;
a.    Adalah kritik kesejarahan, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis asli, sebab jika tidak, pemahaman terhadap sebuah teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan, bahkan walaupun pemahamannya benar.
Disinilah hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Dalam bahasa fenomenologis dapat kita katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci.
b.    Kita memiliki “Kesadaran eidetik”, yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
c.    “Kesadaran  praktis” yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar  teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai strukur ideal yang mewujudkan kesempurnaan hidup.
Ini merupakan bagian dari hermeneutika mencari jalannya diantara dua kutub umum: Penafsiran praktis dan hermeneutika filosofi sebagai askiomatika menghilangkan perbedaan antara hermeneutika dan penafsiran (yang satu bersangkutan dengan teori dan yang lain dengan praktek) atas dasar perbedaan yang murni bersifat didaktis.[12]

C.      Tauhid
  Ketika Islam dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual, tauhid sering dipahami sebagai keesaan Tuhan tidaklah seluruhnya benar, analisis kita tentang Islam dan tauhid tidak bisa hanya sebatas pada Tuhan dan mental saja. Oleh karena itu jalan terbaik untuk memahami tauhid adalah dengan mengartikan tauhid sebagai penyatuan. Ketika gagasan ini dikembalikan pada bidang keTuhanan maka akan berarti ”mengesakan hanya pada satu Tuhan”[13] ketika gagasan itu dikembangkan pada bidang ketuhanan ia akan berarti keesaan Tuhan, akan tetapi sebagaimana telah kita lihat Islam mencakup bidang-bidang keduniawian, mental dan sekaligus tuhan. didiskusikan bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini pada materi dan ruh akhirnya segala sesuatu akan kembali kepada tuhan, disinlah kita lihat bahwa tidak ada superioritas manusia atas makhluk yang warga dunia lain. Jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan kedalam jaringan relasional Islam, jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia tauhid, yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, sosial dan individual, kita kemudian akan menguji jaringan relasional Islam melalui lima pilar kewajiban Islam yang diatur oleh syariat Islam yakni :
  1. Syahadat adalah persaksian seorang muslim, syahadat merupakan kewajiban yang paling penting. Pada penggalan pertama politeisme diingkari dan keesaan tuhan dikukuhkan pada permulaan syahadat muslim menyatakan tauhid yang merupakan basis jaringan relasional Islam, pada penggalan kedua muslim mengakui bahwa Al-Quran diturunkan oleh tuhan kepada manusia melalui Muhammad dalam bagian ini mereka bersaksi atas sebuah bentuk jaringan relasional yang sempurna karena firman Allah adalah abadi dan universal
  2. Shalat adalah dialog spiritual langsung dengan tuhan dan setiap muslim mempunyai kesempatan yang sama, akan tetapi shalat yang diatur oleh syariat, misalnya rakaat (gerakan dalam sholat) adalah latihan fisik, lurus menghadap kiblat dan tepat waktu melatih solidaritas yang tidak terlihat dalam kehidupan muslim dan semuanya menyatukan muslim secara simbolik wudhu dan ghusla latihan bagi kebersihan badan, kostruksi masjid dan penyelenggaraan sholat  jumat mencakup aspek sosial dan spiritual, muslim mendengarkan khotbah dan mendiskusikan masalah-masalah mereka dimesjid.
  3. Puasa, Al-Quran menyebutkan aspek mentalitas dalam puasa namun metode cara berpuasa sendiri melatih solidaritas sosial dalam merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan, puasa dikerjakan pada bulan ramadhan artinya seluruh muslim berpatisipasi langsung secara serentak ini juga merupakan gerakan sosial, dan ini juga menyatukan muslim secara simbolik.
  4. Zakat, pada zakat terdapat aspek sosial, spiritual dan ketika fungsi zakat efektif didalam Islam sudah tentu ia akan menyangkut aspek ekonomi.
  5. Haji, haji dilakukan muslim setiap setahun dalam rangka mengkaji peristiwa-peristiwa penting, dalam Islam haji menjadi peristiwa konferensi.
Dalam lima kewajiban ini dapat kita lihat bahwa masalah yang bersifat spiritual adalah juga bersifat materiil, aksi yang duniawi adalah juga agamawi yang individual sekaligus sosial.

D.      Arti Kiri Islam
Sejak revolusi Prancis, kelompok radikal, kelompok Jakobin mengambil sisi kiri dari kongres nasional sejak saat itu kanan dan kiri sering digunakan dalam terminologi politik secara umum kiri diartikan sebagai partai yang cendrung radikal, sosialis anarkis, reformis, prograsif atau liberal dengan kata lain kiri selalu menginginkan sesuatu yang bernama kemanjuan. Sebenarnya kiri dan kanan tidak ada dalam Islam tetapi ada pada tataran sosial, politik, ekonomi dan sejarah. Hassan Hanafi mengembangkan makna kiri dalam jurnanya karena baginya kiri mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin, kaum yang tertindas, kiri juga menempatkan kembali rasionalisme, naturalisme, liberalisme, dan demokrasi dalam khazanah intelektual Islam.
    Penamaan kiri Islam itu akan mendatangkan perlawanan dari dua arah. Pertama dari kelompok persaudaraan Allah yang mengatakan tidak ada kiri dan kanan dalam Islam, Islam adalah satu, umat Islam dan Tuhan adalah satu, masalah ini menyangkut prinsip (akidah) namun bukan realitas umat Islam, kiri Islam berbicara pada dataran umat muslim didalam  realitas historis dan sistem sosial tertentu, kedua dari pembela status-quo ( baik politik, sosial, dan ekonomi) yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa kiri dan kanan itu adalah permainan kata-kata untuk memecah belah umat menyebar intrik dan fitnah. kiri adalah penghianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada kebaikan manusia. Sesungguhnya tuduhan-tuduhan itu merupakan sisa-sisa penjajahan kultural dinegeri-negeri Islam ketika mereka mengacaukan bahasa dan pola pemikiran secara sengaja sehingga rakyat tidak akrab lagi dengan kosa kata bahasa termasuk kosa kata kiri dengan demikian penjajah merasa aman dari segala macam gerakan kerakyatan yang menyerukan kebebasan dari penjajahan. Kiri Islam bermaksud menstrafomasikan kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif.
  Pemikiran Hassan Hanafi tentang kiri Islam Dalam perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan ‘kiri’ sesungguhnya lebih diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diberlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai sebuah kebenaran utama, maka ia cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal. Pada saat yang bersamaan, ia akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berebeda dengan pemahaman konstruksi pemikirannya merupakan sebuah kesalahan.[14]
E.       Latar Belakang Dan Momentum
   Kiri Islam lahir setelah berbagai motede pembaharuan generasi meghasilkan keberhasilan relatif dan cenderung gagal tertuma dalam mengentaskan masalah keterbelakangan yang disebabkan;
  1. Berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan ukhrawi
  2. Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi terakhir, ternyata didikte oleh kebudayaan barat berperilaku seperti peguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara
  3. Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energy untuk untuk mewujudkan tujuan-tuuan kemerdekaan nasional
  4. Nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sisem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat
   Kiri Islam adalah benteng pelindung bagi Islam dan kaum muslimin untuk melawan upaya-upaya kolonialisasi kontemporer. Dalam hal ini Islam menjadi keyakinan yang strategis bahkan sekarang ini revolusi Islam telah menjadi ancaman terbesar bagi negara adi daya, jelaslah gerakan Islam telah menjadi kekuatan nyata dihadapan negara-negara super power, barat maupun timur, dan kiri Islam adalah ideologi gerakan kaum muslim, kiri Islam juga mengembangkan reformasi agama, dalam menghadapi ancaman-ancaman zaman dan dalam tataran rekonstruksi pemikiran keagamaan reformatif itu sendiri.
  Upaya rekrontruksi diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang bercampur dengan tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat kita untuk hanya menunggu pemberian dan ilham dari langit.


F.       Revitalisasi Khazanah Intelektual Klasik
 Dengan Al-Yasar Al-Islami (kiri Islam), Hassan Hanafi berusaha mentransformasi kajian-kajian ilmiah atas disiplin-disiplin keIslaman yang terpisah-pisah kepada pembuatan paradigma ideologis yang baru, termasuk dengan mengajukan Islam sebagai alternatif pembebasan rakyat dari kekuasaan  feodal.
Di pihak lain, Al-Turats wa al-Tajdid di persiapkan oleh Hanafi sebagai uraian komprehensif tentang kebangkitan pemikiran Islam secara menyeluruh.  Keberhasilan mengantarkan Hassan Hanafi kepada cara berfikir yang lebih sublim (santun/halus), tetapi lebih memberikan harapan bagi Islam sebagai mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam menciptakan tatanan dunia baru yang universal.
Ilustrasi yang digambarkan di atas, dengan beberapa  karya yang dihasilkan dan dipubilkasikan menunjukkan betapa serius keinginan Hanafi dalam mensosialiasikan gagasan tentang “tradisi dan modernisasi”. Gagasan hermeneutika transformasi peradaban  yang kontektualisasinya jelas  adalah Mesir dan dunia Arab kontemporer.[15]
Kiri Islam berada pada dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama oleh karena itu rekrontruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah lama itu sangat penting. khazanah lama terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, pertama ilmu normatif-rasional semisal ilmu ushuluddhin dan ilmu fiqih, kedua ilmu-ilmu rasional semata semisal me tafisika, astronomi, ketiga ilmu-ilmu normatif-tradisional semisal Al-Quran, Hadith, Fiqh. Kiri Islam berpretensi untuk mengangkat ilmu-ilmu klasik itu secara bertahap sehingga kita tidak lagi tergantung pada penemuan-penemuan orang lain. Dengan demikian kiri Islam menyepakati lima prinsip Mu’ktazilah dan berusaha merekontruksi prinsip mu’tazilah. Mengintroduksi mu’tazilah karena mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi, dan eksplorasi alam, kiri Islam juga mengelaborasi Khawarij karena mendukung revolusi Islam dan teguh dalam merebut hak-hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka, kiri Islam juga coba memahami Syiah setelah gemilang mengawal revolusi akbar di Iran dan seruan mereka untuk memancangkan harga diri Islam melawan Kolonialisme, Zionisme, Westernisme, dan Sekularisme dengan demikian mereka sesungguhnya telah dekat dengan Ahlussunnah dan meninggalkan kepercayaan sesatnya dimasa lalu.
  Kiri Islam mengikuti paradigma fiqh dan ushul fiqh Maliki karena ia menggunakan pendekatan kemashlahatan serta membela kepentingan umat Islam hal ini bukan berarti Islam kiri melakukan diskriminasi atas mazhab-mazhab fiqh melainkan untuk mengembalikan umat Islam pada sumber pertamanya, keberanian dalam membuat keputusan hukum berdasarkan relitas dan kemashlahatan umum bercermin pada Malikiyah, penggunaan akal secara optimal dalam interpretasi teks bercermin pada Hanafiyah, pemaduan realitas dan rasio bercermin pada Syafi’iyah dan komitmen terhadap teks bercermin pada Hanbaliyah.
 Dalam filsafat kiri Islam mengikuti paradigma Ibnu Rusyd yang menetapkan kembali akal dan alam pada proporsinya masing-masing. Kiri Islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum muslim, Islam yang semula milik umat Islam berubah menjadi Islam yang eksklusif milik kaum sufi tarekat belaka.  Jalan sufi terdiri dari tiga tingkatan : pertama disposisi moral yang termanifestasikan didalam nilai-nilai negatif seperti zuhud, faqr kedua tingkatan jiwa yang didalamnya terjadi pergumulan perilaku diluar dialihkan menjadi pergumulan didalam seperti khauf dan optimisme, ketiga tingkatan ekstase dan manunggal dengan Tuhan secara ilustif dan fantastik. Ditingkat inilah jalan sufi berakhir dan dunia tak pernah berubah, seolah-olah kemenangan telah sempurna dan negara Islam telah berdiri akan tetapi kondisi sekarang ini menunjukkan hal yang sama sekali berbeda  tetapi tidak ada diantara kita yang mencoba melepaskan diri  dari krisis itu, kesabaran telah membuat kita diam dari segala hal, ridho membuat kita membiarkan segala hal tawakal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan sedangkan manunggal dengan Tuhan dan ekstase telah menenggelamkan kita dalam ilusi.
Dalam ilmu hadith kiri Islam lebih mementingkan matan (teks) dari pada sanad karena mungkin tidak mampu melakukan kritik sanad dan mampu melakukan kritik matan dilihat dari teks hadith apakah masuk akal atau tidak, kewajarannya dan sebagainya. Dalam ilmu tafsir kiri Islam membangun tafsir presfektif agar Al-Quran mendeskripsikan hubungan manusia dengan manusia lain, tugasnya didunia, kedudukannya dalam sejarah membangun sistem sosial dan politik, sebagai ahli fiqh kita lebih tertarik pada pengembangan muammalah dari pada ibadah, lebih memberi perhatian pada hukum jual beli, jihad, sistem sosial, ekonomi, dan politik ditambah dengan hukum menghadapi kolonialisme, kepitalisme, kemiskinan, dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah yang selama ini seolah-olah menjadi tujuan padahal sesungguhnya sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan.
G.      Menentang Peradaban Barat
Kehadiran barat didunia Islam menuai berbagai tanggapan. Disatu sisi menimbulkan kekaguman sebagian tokoh muslim sekaligus dijadikan sebagai sumber acuan untuk memperbaharui kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Disisi lain, kehadiran barat ditanggapi sebagai sebuah ancaman bagi identitas Islam dan nasional sehingga barat yang asing harus disingkirkan dari kehidupan masyarakat Islam ketika kolonialisme dan imperialism barat mencekram dunia Islam kebutuhan akan perjuangan melawan barat  untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan menjadi sangat penting.sebaliknya, perubahan dalam kultur dan struktur kehidupan perubahan sosial, politik dan ekonomiumat Islam adalah krusial untuk menopng perjuangan menghadapi barat.
Dunia Islam yang sejak abad 18 menjadi mitra dagang eropa dijadikan koloni ada abad 19. Kolonialisme dan imperialisme barat dimulai dan ini berlangsung sampai ddengan abad 20. Kendati kolonialis dan imperialis barat sering memajukan argumen bahwa mereka datang membantu umat Islam memecahkan masalah, namun dasar pikiran kolonialisme dan imperialisme terlihat lebih menonjolkan sisi pencarian keuntungan untuk jangka panjang dari wilayah-wilayah atau Negara yang dikuasainya baik berupa keuntungan ekonomi, kultural, maupun politik. Merebaknya persaingan kepentingan antar Negara-negara kolonialis dan imperialis didunia Islam. Dunia Islam hanya menjadi bulan-bulanan percaturan kepentingan Negara-negara Barat dan Eropa.
Ironisnya sumber kekayaan alam didunia Islam, hanya dinikmati sebagian kecil golongan yaitu dari kalangan elit pemerintahan, elit ekonomi, serta para imperialis juga sebagian besar sumber-sumber vital masih dikuasakan kepada lembaga-lembaga asing. Kolaborasi antara imperialis dan kalangan istana melengkapi sebuah drama mengenai proses pemiskinan rakyat. Keadaan seperti ini telah mengkristal menjadi sebuah strutur, sehingga perubaha harus dilakuakan  baik secara idelogis maupun struktural dalam rangka memperbaiki nasib rakyat secara keseluruhan.[16]
Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme.[17]
Kiri Islam hadir untuk menentang dan menggantikan kedudukan barat, kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam dan tradisinya sendiri dan berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh dominasi Barat. Tugas kiri Islam adalah melokalisasi barat artinya mengembalikan pada batasan-batasan alamiahnya dan menepis mitos mendunia yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain, peradaban Barat menjadi rasialisme. Rasialisme inilah yang membuat barat bernafsu menjadikanya peradaban sebagai model tunggal. Tugas kita mengadakan studi tentang asal-usul peradaban timur lama. Seperti India, Persia, Mesir dan Cina yang telah lama disembunyikan Barat seolah-olah peradaban Timur itu tidak pernah ada.
Rekonstruksi yang ditawarkan Hanafi dapat dilihat dari pembacaannya historisitas atau warisan tradisi masa lalu yang dibenturkan pada kondisi sekarang. Segenap aspek baik ilmu, cabang-cabang ilmu maupun sekte-sekte yang melingkupinya menjadi kajian dalam pengembangan pemikiran tentang masyarakat Islam. Ia  berusaha mengembalikan spirit Islamiyah, sehingga semangat perjuangan awal  mula Islam  sangat  diperlukan. Oleh  karenanya dekonstruksi sejarah dalam menarik titik balik peradaban masa kini adalah niscaya.
Warisan atau tradisi masa lalu merupakan awal untuk melihat persoalaan masa kini. Dalam masyarakat tradisional, tradisi-tradisi tersebut memainkan peran penting dalam ideologi politik  masyarakat yang telah disekulerkan, karena  tradisi  masih merupakan sumber otoritas. Tradisi  masih sering digunakan sebagai alat pembuktian  atau penolakan. Oleh karenanya  untuk membangun masyarakat Islami lebih  lanjut, pandangan masyarakat tradisional yang memandang dunia sebagai faktor utama dalam perilaku  masa harus  dirubah, yaitu menempatkan  manusia  sebagai pemeran utama. Semua retorika politik dan pidato panjang yang menggiring massa untuk bekerja, agar dapat meningkatkan produktifitas dan menekankan mereka pada tujuan nasional telah menciptakan ketidakpekaan akan keadaan yang berkembang. Masyarakat masih mencerna dunia dengan  pandangan bertikal.
Hubungan antara kedua elemen (Negara dan masyarakat) berlangsung layaknya hubungan antara superior dan inferior. Selama kultur massa tersebut sengaja dipolakan, maka komitmen terhadap  dunia akan tetap lemah. Masyarakat akan tetap menjadi komunitas berkelas. Administrasi  Negara menjadi  terbatas pada birokrasi belaka.[18]
Gaya hidup akan tetap patriarkal, otokritik dan otoritarian. Apabila kultur massa tradisional hanya memandang dunia secara horisontal maka dunia akan menjadi ajang pergerakan. Apabila hubungan antara dua elemen (Negara dan  masyarakat) berlangsung secara sejajar dan pada level yang sama, masyarakat berkelas akan berubah menjadi masyarakat tidak berkelas. Birokrasi akan  menjadi partisipasi rakyat dan peraturan yang dapat diterima masyarakat. Masyarakat akan bebas menyampaikan pendapat dan mempunyai kedudukan yang sama.Dialektika antara tuan dan budak akan berakhir. Hubungan tidak lagi berdasarkan pada superioritas dan inferioritas, akan tetapi berdsarkan pada kesejajaran antara kelompok yang di depan dan yang di belakang. Dinamika religius atas bawah akan bergantug menjadi dinamika sosial depan belakang. Peningkatan berarti bergerak ke depan, kemunduran berarti berjalan ke belakang. Perubahan secara menyeluruh dalam kultur massa tersebut merupakan dasar metafisik dari seluruh aspek praktis dalam rangka menata dunia, manusia, masyarakat dan sejarah

H.      Realitas Dunia Islam
Kiri Islam menyatakan pemikiran keagamaan selama ini hanya bertumpu pada model pengalihan yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang dapat berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu banyak mengandung kelemahan diantaranya pertama; teks adalah teks dan bukan realitas dan arena setiap argument adalah otentik maka penggunaan teks sebagai argumentasi haruslah merujuk pada otensitasnya didalam realitas, kedua; teks menuntut keimanan apriori terlebih dahulu sehingga argument teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya dan ini elitis, ketiga; teks bertumpu pada otoritas al-kitab, keempat; teks adalah pembuktian asing karena datang dari luar dan tidak dari dalam realitas, padahal pembuktian keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah dari pada keyakinan yang datang dari dalam, keenam; teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengn teks-teks lainnnya, ketujuh; teks selalu dalam ambiguitas pilihan yang tak luput dari untung rugi, kedelapan; posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks-teks sehingga didalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber pertikaian diantara kekuatan yang ada, kesembilan; teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan dan sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya. Kesepuluh; metode teks lebih cocok untuk nasihat dari pada untuk pembuktian, kesebelas; kalaupunn mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status dan tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif.
Metode kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri, kiri Islam langsung merujuk secara objektif pada konteks tersebut dan mendefinisikan secara kuantitatif. Kiri Islam mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini yakni imperialisme, kapitalisme, zionisme, yang merupakan ancaman eksternal serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.
Imperialisme tetap merupakan isu terpenting Islam walaupun mempunyai berbagai ragam pada akhirnya imperialisme adalah perang salib baru. Dibidang ekonomi imperialisme saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional, dalam sektor budaya ia muncul dalam bentuk westernisasi. Secara militer imperialisme mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing. Seperi halnya banyak bangsa-bangsa Islam yang masih tunduk dibawah pengaruh negara adikuasa kesejahteraan dunia Islam pun masih terjerat oleh tangan besar monopolisme keagamaan dan kita juga masih terus mengimpor pengetahuan Islam dari Barat.
Islam berdasarkan nash Al-Quran sesungguhnya mengharamkan kita tunduk dibawah kekuasaan yahudi Q.S. Al-Maidah ayat 51. Tugas kiri Islam adalah melakukan redistribusi kekayaan diantara kaum muslimin dengan seadil-adilnya sebagai mana disyariatkan Islam menurut tingkat ketekunan, usaha dan jerih payah masing-masing. Umat Islam pun tak luput dari kenyataan penindasan despotisme, dan penganiayaan tugas kiri Islam memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan pemerintahan deokrasi dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan menentukan corak diegerinya.
 Keterbelakangan merupakan watak umum masyarakat yang berhubungan dengan kekurangan sumberdaya pembangunan, struktur sosial, pandangan dunia bangsa, keterpecahan bangsa-bangsa Islam, mundurnya tingkat kesejahteraan, keterbelakangan budaya yang berkaitan dengan pandangan dunia manusia, perilaku bangsa, sistem sosial dan ekonomi dan keterbelakangan.
pemikiran dalam konteks ini kiri Islam menguak misi kesejarahan umat Islam dan mentranstraformasikan mayoritas rakyatnya dari belenggu kuantitatif ke status kualitatif

I.     Agama dan Revolusi Pembebasan
Tugas kiri Islam adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi dalam hal ini agama menjadi landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman. Agama adalah revolusi itu sendiri dan para nabi merupakan revolusioner sejati. Hak menentukan nasib sendiri dan kebebasan rakyat terdapat dalam undang-undang internasional yang berisikan peraturan dan perjanjian internasional. Dinegara-negara yang mempunyai kekuasaan tertentu terdapat undang-undang yang mengatur perekonomian, sosial dan kebudayaan sebagaimana dalam pasal 1 sebagai berikut;
1.    Seluruh Negara mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka juga memiliki sesuai dengan kebenaran ini- kebebasan berpendapat yang puncaknya adalah politik, juga kebebasan ansuransi dalam pengembangan perekonomian, sosial dan budaya.
2.    Diperbolehkan bagi suatu bangsa untuk mengeksploitasi hasil kekayaan dan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhannya. Asalkan pengeksploitasian tersebut tidak bertentangan dengan berbagai kewajiban yang dikeluarkan oleh badan kerjasama ekonomi internasional yang berlandaskan prinsif tukar menukar profit dan undang-undang internasional. Tidak diperbolehkan sama sekali memberikan hak istimewa terhadap suatu Negara disebabkan oleh kehidupan mereka yang khusus
Salah satu unsur dari unsur-unsur kebebasan bangsa adalah memberikan hak mereka dan menentukan nasibnya sendiri baik dalam bidang politik ekonomi sosial dan kebudayaan. Tertulis dalam pasal pertama piagam persatuan bangsa-bangsa bahwa” tujuan dari PBB adalah menumbuh kembangkan hubungan persahabatan antar bangsa dengan dasar memuliakan prinsipyang menerima persamaan hak menentukan nasibnya sendiri.
Dan untuk membantu kebebasan bangsa, dalam siding plenonya, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan ketetapan tanggal 14 januari tahun 1960 dengan judul; (Deklarasi Pemberian Kemerdekaan Keada Negara Dan Bangsa Yang Terjajah), ketetapan ini membuat penghapusan penjajahan dan penjelasan hak bangsa dalam kemerdekaan dan menentukan nasibnya sediri.
Termaktub dalam pasal 11deklarasi hak asasi manusia sedunia sebagai berikut:
1.    Manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan tidak ada seseorang pun yang menjadikan budak, menghinanya, menaklukkannya atau mempekarjakannya serta tidak ada penyembahankecuali terhadap allah SWT
2.    Penjajahan dengan segala bentuknya dan sebagai jalan yang paling buruk dalam perbudakan dilarang dengan pelarangan yang keras. Bagi bangsa yang menderita merupakan kebenaran yang sempurna untuk membebaskannya dari penderitaan itu dan kemudian diberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Seluruh bangsa dan Negara wajib memberikan bantuan kepada bangsa terjajah untuk berjuang mengusir penjajahan dan segala bentuknya. Hak seluruh bangsa untuk menjaga identitasnya yang merdeka dan menguasai seluruh hasil kekayaan dan sumber daya alam
Dalam Islam jihad dan pebebasan menciptakan keselarasan antara hak-hak asasi dan pensyariatan jihad, diisyaratkan jihad dalam Islam hukumnya tidak dihapus adalah ketetapan terhadap keadaan memusuhi umat Islam dan dakwah kaum muslimin, Negara kehormatan dan anggota orang muslim dan untuk menyelamatkan orang yang lemah yang membutuhkan pertolongan orang-orang muslim. Jihad wajib untuk mempertahankan yakni orang Islam tidak menyerang dengan tiba-tiba kepada mereka dengan adanya pergerakan yang rumit atau intimidasi secara terus menerus atau membahayakan. Bagi orang Islam perang adalah memerangi orang yang memerangi kita. Islam tidak memperbolehkan dalam keadaan perang untuk memerangi orang-orang sipil, perempuan, anak-anak, pendeta-pendeta, para petani, orang-orang tua, dan buta, tidak diperbolehkan melanggar dan merusak peradaban dan kemegahan kota dengan merobohkan bangunan, perumahan dan tempat tinggal serta tidak diperbolehkan menebangi pohon.
Tidak dilarang bagi kaum muslimin untuk menerapkan prinsip toleransi beragama, persahabatan antara bangsa dalam keberanakaragaman agama, mazhab dan politik. Ini artinya rukun antar aliran-aliran politik dan sosial damai dan mendapatkan jaminan yang baik, cinta kasih hubungan kekeluargaan dan bersatu disinilah Islam dikatakan sebagai agama yang sesuai antara teori dan praktik, mereka menikmati kehidupan dinegara Islam dengan nasionalisme dan kewarganegaraan yang utuh. Mereka juga mempunyai hak perwalian sebagai pegawai umum tidak sekedar sebagai pegawai kelas dua.
Jihad didalam Islam tidak sebagaimana penjajahan pada zaman sekarang. Jihad tidak dimaksudkan sebagai perampasan dan penyitaan terhadap kekayaan alam Negara yang dijajah dan menguasai berbagai tempat penghuninya.[19]

J.    Integritas Bangsa
Kiri Islam bukanlah suatu mazhab baru dalam Islam, teologi maupun fiqh melainkan upaya mempemersatukan kaum muslimin sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan zaman terhadap nilai-nilai kebebasan keadilan dan keajuan. Pertama kiri Islam menawarkan dialog kepada kaum persaudaraan dalam Allah (Ikhwanul Muslimin) yang ditopang oleh majalah Ad-Da’wah Al-Islamiyah
 Dengan mengakui eksistensi mereka dimesir dan dunia Islam diakui pula literatur-literatur cukup kaya dengan premis-premis sosiologis walaupun fundamentalistiknya masih sangat kental oleh karena itu dialog yang ditawarkan adalah untuk mencari titik-titik persamaan agar kita bersatu dan terhadap titik-titik perbedaan kita saling menghormati akan tetapi disayangkan gerakan ini tidak dapat mewujudkan cita-cita Islam karena kemudian hanya menjadi slogan sebagaimana kaum nasionalis dan sekularisme gagal untuk menafsirkan kembali tradisi dan spiritulitas rakyat dalam mewujudkan kebebasan dan keadilan yang menjadi tututan dan tujuan nasional.
Kedua kiri Islam menawarkan dialog kepada persaudaraan nasional marxisme, nasserisme, dan liberalisme. Kiri Islam menawarkan metode dan pendekatan yang lebih efektif dengan merujuk pada tradisi umat untuk mendapatkan akar dan kesinambungan sejarah. Kaum liberal telah meletakkan dasar untuk pembangunan ekonomi nasional sebagaimana mereka menganjurkan kebebasan berfikir, meniupkan spirit nasionalisme dan mempelopori gerakan pembebasan nsional, kaum marxis berjasa dalam peperangan melawan kolonialisme, memperkuat kesadaran kelas kaum buruh, pembentukan karakter revolusioner dikalangan mahasiswa dan aktif dalam rintisan-rintisan persatuan nasional, sedangkan nassarisme telah melakukan prestasi besar dalam sejarah sejak Muhammad Ali meletakkan enam prinsip yang terkenal: perang melawan embargo, perang melawan kapitalisme, perang melawan kolonialsme, mewujudkan keadilan sosial, demiliterisasi, dan demokrasi kemudian juga menyempurnakan UU Landreform I.II,III, kiri Islam tidak lagi merasa terkungkung untuk mengekspresikan dirinya baik sebagai keIslaman maupun kearaban, universalis maupun nasional, dan keagamaan maupun sekuler[20]




   

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Hasan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Repubublik Arab Mesir pada tanggal 13 Februari 1935, Pada usia sekitar lima tahun, Hanafi mulai menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid berlangsung dijalan Al-Banwahi. Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari kuliyyat Al-Adab (Fakultas Sastra) jurusan universitas filsafat kairo Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai Sur La Method D’Exegese (esai tentang metode penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
Kiri Islam secara keseluruhan terbebas dari pengaruh Barat dan Timur, kiri Islam merefleksi pemikiran historis yang mempresentasikan suatu gerakan sosial politik dalam khazanah klasik dengan menggali akarnya pada Al-Quran dan sunnah dan hanya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Pemikiran kiri Islam lahir di mesir yang merupakan pusat dunia dan jantung Arabisme, kiri Islam tidak menganjurkan siapapun untuk memberontak pada pemerintahan yang sah karena bagi kiri Islam medan percaturan yang paling mendasar terletak pada kebudayaan dan kesadaran historis rakyat, ukuran keberhasilan setiap gerakan bukanlah tercapainya pada kekuasaan melainkan pada pencerahan menyeluruh.
Kiri Islam ditujukan untuk membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyonsong kebangkitan modern rakyat, kiri Islam tidak terpengaruh oleh bayang-bayang kejayaan Islam tujuan kiri Islam justru mengubah bayang-bayang itu menjadi wacana pemikiran, dialog, pencerahan agar kejayaan Islam dapat termanifestasikan dalam wujud kesejahteraan. Kiri Islam mengekspresikan kebutuhan umat Islam dewasa ini terhadap pemikiran dan instuisi gerakan dan perubahan, masa lalu dan era baru, serta tradisi dan kebaruan, oleh karena itu ia menampilkan diri dengan bahasa konvensional yang menggabungkan antara analisis dan ajakan ditujukan baik kepada awam maupun elit dan bertumpu pada upaya individual untuk menjaga kemerdekaannya serta pada gilirannya menghidupkan vitalitas sejarah rakyat.

Daftar Pustaka
Badruzaman, Abad Kiri Islam Hasan Hanafi.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2005.

Shimogaki, Kazoo Kiri Islam. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Az-Zuhaili,Wahbah Kebebasan Dalam Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2005.

Hanafi,Hassan  Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer. Yogyakarta : Jendela. 2001.

Hady, Samsul Politik Islam Nasserisme Dalam Pergulatan Politik Timur Tengah. Malang: UIN Maliki Press. 2010.

Hanafi,Hassan  Humum al-Fikr wa al-Wathan, Juz II. al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir Dar Quba. Kairo:1998.

Hanafi,Hassan  Dialog Agama dan Revolusi I. Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.

Abdillah, Hasan Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, Surabaya: Jawara Surabaya. 2004.

Saenong, Ilham Baharudin  Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi, MK Metodologi Tafsir al-Qur'an menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju. 2002.

Fazlurrahman, Neo Modernisme Islam, cet. I. Bandung: Mizan Media. 998.

Arkoun, M Nalar Islami dan Nalar Modern. terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS.1994.

Ridwan,Ahmad. Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktulisasi Tradisi Keilmuan Islam. Yogyakarta: ITTAQA Press.1998.

Santoso, Listiyono( eds) Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri.

Esposito, L John dan John O. Voll Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. terj. Sugeng Haryanto (eds). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Munawir,Fajrul (eds) Tafsir Al-Qur’an. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 124

Nata,Abuddin Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Faiz,Fahruddin Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ Press, 2005.

Wahid,Abdurrahman Hasan Hanafi Dan Eksperimentasinya. Yogyakarta: Lkis, 2007.

Maulana,Ahmad (eds) Kamus Ilmiah Popular. Yogyakarta: Absolut, 2008.


 


[1]Abdurrahman Wahid, Hasan Hanafi dan eksperimentasiny (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. ix.
[2]Abad Badruzaman, Kiri Islam Hasan Hanafi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2005),hlm 41-46.
[3]Abdillah Hasan, Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004), hal 317
[4] Ahmad Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran HASSAN HANAFI Tentang Reaktulisasi Tradisi Keilmuan Islam (Yogyakarta; ITTAQA  Press, 1998), hlm. 9 -12.
[5]Ilham Baharudin Saenong, Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi, MK Metodologi Tafsir al-Qur'an menurut Hassan Hanafi (Jakarta; Teraju, 2002), hlm. 52-53
[6]Fazlurrahman, Neo Modernisme Islam, (cet.I; Media Bandung; Mizan, 1998), hlm. 57.
[7]Fajrul Munawir (eds),Tafsir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 124.
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 47.
[9] Munawir (eds), Neo Modernisme, hlm. 143.
[10]Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta; ELSAQ Press, 2005), hlm. 15
[11]M. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S .Hidayat (Jakarta: INIS 1994).
[12] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994), hlm.1-4
[13]Ahmad Maulana (eds), Kamus Ilmiah popular (Yogyakarta: Absolut, 2008), hlm.89.
[14]Listiyono Santoso (eds), Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri, hlm. 17.
[15]Hassan Hanafi, Humum al-Fikr wa al-Wathan, Juz II Al-Fikr Al-‘Arabi Al-Mu’ashir (Kairo; Dar Quba’1998), hlm. 77-79.
[16]Samsul Hady, Politik Islam Nasserisme Dalam Pergulatan Politik Timur Tengah (Malang; UIN Maliki Press 2010), hlm. 14-17.
[17]John L Esposito dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Haryanto (eds), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[18]Hassan Hanafi, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer (Yogyakarta; Jendela, 2001), hlm.77.
[19]Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam (Jakarta Timur; Pustaka Al-Kautsar 2005), hlm. 225-234.
[20] Kazoo Shimogaki. Kiri Islam (Yogyakarta : LKiS 2007), hlm. 107-168.