PENDEKATAN
KIRI ISLAM HASAN HANAFI
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata
Kuliah Pendekatan Studi Islam
Dosen
Pengampu:
Dr.
M. Samsul Hady, M.Ag
oleh
UMI
FATMAYANTI
NIM.
14761018
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada nabi kita Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman kebodohan kepada zaman yang berisi ilmu
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Penulis mengajukan makalah ini guna
menyelesaikan tugas mandiri yang di berikan oleh dosen mata kuliah Pendekatan
Studi Islam, Dr. M. Samsul Hady, M.Ag dan agar kalangan intelektual terutama
mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin bangsa di masa mendatang dapat
memahami Pendekatan Studi Islam sehingga dapat membawa kemajuan dan
kesejahteraan bagi bangsa dan negara
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman dan pihak perpustakaan yang telah meminjamkan berbagai buku
mengenai tema yang penulis angkat sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan
pada waktunya.
Penulis juga mohon maaf kepada semua
pihak, apabila masih banyak terdapat kesalahan dalam penyelesaian makalah ini.
Karena penulis juga masih dalam proses belajar dan masih membutuhkan bimbingan
dalam penyelesaian makalah ini.
Kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Batu,
6 Juni 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar................................................................................................. I
Daftar
Isi........................................................................................................... II
Bab
I : Pendahuluan......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 2
Bab
II : Pembahasan......................................................................................... 3
A. Biografi Hassan Hanafi.......................................................................... 3
B. Latar Belakang Pemikiran Hassan Hanafi............................................... 4
C. Tauhid................................................................................................... 10
D. Arti Kiri islam ....................................................................................... 11
E. Latar Belakang dan Momentum........................................................... .. 13
F. Revitalisasi Khazanah Intelektual Klasik............................................ ... 14
G. Menentang Peradaban Barat................................................................. 16
H. Realitas Dunia Islam.............................................................................. 19
I. Agama Dan Revolusi Pembebasan....................................................... . 21
J. Integritas Bangsa ................................................................................. , 24
Bab
III: Penutup............................................................................................... 26
A. Kesimpulan........................................................................................... 26
Daftar
Pustaka ................................................................................................. 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tradisi ada dua,
tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi, tradisi Negara dan rakyat, budaya resmi
dan budaya perlawanan, dengan demikian tidak ada tradisi secara mutlak,
masing-masing bersifat total, tidak terbagi-bagi, tidak terpecah-pecah dan
tidak terpisah-pisah. Tradisi menjadi tradisi kekuasaan karena ia memberikan legitimasi
kepada kekuasaan politik yang berkuasa dan berusaha mencabut legalitas
kekuasaan dari tradisi oposisi. Bersebrangan dengan tradisi diatas muncul
tradisi oposisi yang menetapkan manusia memiliki kekuasaan dan kemampuan
bernalar secara independen tema tradisi
muncul ketika krisis politik yang paling berbahaya dihadapi oleh bangsa Arab
pasca revolusi modern.
Didalam Islam
terdapat segala sesuatu termasuk didalamnya kemodrenan, bahwa kita tidak perlu
memerlukan kemodrenan lain diluar Islam dari timur ataupun barat, kemajuan
masyarakat dapat berwujud setelah adanya konsep kemajuan, maka mencari konsep
kemajuan menjadi syarat bagi teralisasinya kemajuan. Kemajuan yang dimaksud
disini bukan kemanuan materi melainkan kemajuan sebagai wawasan atau sebagai
struktur mental, kemajuan sebagi sense atau sebagai kesadaran, sebagai
tujuan, atau sasaran, sebagai tuntutan sementara Islam kiri berusaha mentransfer
masa kini ke fase lain dengan memegang masa lampau dengan cara menghilangkan
hambatan-hambatan kemajuan dan mengandalkan sendi-sendi kemajuan.
Sejak ajaran Islam
yang dibawa nabi Adam hingga nabi Muhammad adalah ajaran kiri, dalam arti Islam
adalah ajaran praktis yang selalu membrontak terhadap tatanan-tatanan sosial
yang menindas dan diskriminatif yang artinya melawan penindasan serta
menjunjung tinggi penegakan kesetaraan dan keadilan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah biografi Hassan Hanafi
2. Bagaimanakah isi pemikiran kiri Islam
Hassan Hanafi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah;
1. Untuk mengetahui biografi Hasan Hanafi
2. Untuk mengetahui isi pemikiran kiri Islam
Hasan Hanafi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Hassan Hanafi
Hasan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Repubublik
Arab Mesir pada tanggal 13 Februari 1935, keluarganya berasal dari propinsi
banu Swaif, kemudian mereka pindah ke kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal dari
Al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah banu Mur, kakek Hassan
Hanafi memutuskun untuk menetap dinegeri seribu menara (Mesir) ketika ia
singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji.
Pada usia sekitar lima tahun, Hanafi mulai
menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid berlangsung dijalan Al-Banwahi.
Pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di Madrasah Sulayman
Ghawish. Bab Al-Futuh suatu daerah yang berbatasan dengan benteng Salahuddin.
Setamat dari sekolah itu Hanafi masuk kesekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin
namun ketika hendak memasuki tahun kelima tahun terakhir pendidikan tersebut ia
pindah mengikuti jejak kakaknya ke sekolah Silahdar, sekolah barunya itu berada
di komplek Al-Hakim Bi Amrillah. Disekolah itu pula Hanafi banyak belajar
bahasa asing. Pendidikan menengah atasnya ditempuh Hanafi disekolah menengah
atas Khalil Agha.
Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11
Oktober 1956 dari kuliyyat Al-Adab (Fakultas Sastra) jurusan universitas
filsafat kairo. Setelah itu Hanafi pergi ke Prancis untuk memperdalam filsafat
di universitas Sorbonne, dengan spesialisasi filsafat barat modern dan pra modern
selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis dalam rentang
waktu tersebut. tradisi, pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Pada tahun
awal keberadaannya di Perancis ia sempat mengikuti kursus musik. Hanafi
menyusun disertasi yang berjudul Essai Sur La Method D’Exegese (esai
tentang metode penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman memperoleh
penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.[1]
Upaya Hanafi itu merupakan suatu eksperimen yang menarik sebab infinitas
dari rangkaian fenomena kehidupan yang sama sekali tidak memiliki persetase
kelanggengan diterapkan pada ketangguhan kerangka berfikir yang dimaksudkan
untuk mendukung keabadian Al-Quran .
Tahun 1969 Hanafi
menjadi professor tamu, pada tahun 1970
mengajar di Belgia, tahun 1971 di Amerika Serikat, 1975 di Kuwait, 1979
di Maroko, 1982-1984 di Jepang, 1985 di Uni Emirat Arab. Hanafi juga berkunjung
ke negeri Belanda, Swedia, Protugal, Spanyol, India, Sudan dan Saudi Arabia
digunakan untuk mengamati secara langsung kontradiksi dan penderitaan yang
terjadi di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1975 Hanafi kembali kemesir
dengan membawa obsesi lamanya yaitu membangun kesadaran diri lewat penelusuran
dan pengkajian serta penafsiran ulang atas tradisi kaum klasik. Keterlibatannya
pada Gerakan anti pemerintahan Anwar Sadat menjadikannya dipecat dari
universitas kairo. Ia tercartat sebagai pelopor berdirinya organisasi
perhimpunan para filosof Mesir.[2]
Masa kecil Hanafi
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi
pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah
mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun
1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu
muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda
Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi
problem persatuan dan perpecahan.[3]
B. Latar Belakang Pemikiran Hassan Hanafi
Pemikiran bersumber dari pengetahuan yang dibentuk
secara sosiologis. Karena itu,
pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari akar sosialnya, tradisi dan keberadaan
pemikir tersebut. Dengan demikian, pemikiran Hassan Hanafi tidak bisa di pahami
tanpa meletak-kannya dalam suatu posisi sejarah atau tradisi panjang yang
melingkarinya, yakni terdapat pada dua hal
1. Kondisi Sosial Politik
Mesir,
yang terletak pada persimpangan jalan antara Afrika dan Asia, memiliki posisi yang strategis. Disamping
tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk dan Negara-negara besar
pada masa lampau. Arti strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya terusan
Suez pada tahun 1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai Perancis, secara
strategis berada dibawah kontrol Inggris yang menyadari kepentingan terusan ini
bagi kepentingan imperiumnya.
Pada akhir abad XIX situasi politik, sosial
dan intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab dengan berakhirnya
Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme yang di tunjang oleh
berbagai faktor, yaitu;
a. Kehadiran pasukan Inggris, Australia dan
Selandia Baru yang melukai rasa
kebangsaan Mesir.
b. Pembiayaan besar bagi tentara
berpenghasilan tetap
c. Digunakannya orang Mesir menjadi tenaga
kerja Inggris yang mengurangi persediaan buruh Mesir, dan
d. Naska Empat belas pasal Wilson serta
deklarasi Inggris-Perancis yang menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab
yang besar, guna meraih kemerdekaan penuh dari pengawasan asing. Perang Dunia
II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial dan ekonomi Mesir yang serupa
pada masa Perang Dunia I, dan pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga
sebanding.
Hal ini juga merangsang suatu gelombang
nasionalisme anti asing yang condong berbentuk kekerasan. Jika sesudah Perang Dunia I, Wafd menjadi
penyambung lidah nasionalisme Mesir, setelah Perang Dunia II perang ini diambil
alih oleh kelompok lain yang lebih ekstrim. Disayap kiri terdapat partai
Komunis dan di sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan Islam (al-Ikhwan
al Muslimin) didirikan oleh Syeikh Hassan Al-Banna (1929) di Ismailia, yang
pro Islam dan anti Barat[4]
2. Kondisi Gerak Intelektual
Tahun 1798, awal masuknya penjajah Napoleon
Bonaparte, dan tahun 1805, tahun diangkatnya Muhammad Ali sebagai Gubernur
Mesir, dianggap sebagai awal masuknya pengaruh Eropa ke Mesir secara formal.
Muhammad Ali Pasha adalah tokoh pertama yang
menerima kehadiran modernisasi
Mesir. Usaha modernisasi ini di awali dengan kebijakannya untuk memperbaiki
Mesir di hampir segala bidang kehidupan, seperti bidang pertanian,
administrasi, pendidikan, kemili-teran, dan industri. Semua ini, menurut dia,
bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Mesir.
Dengan modernisasi disegala bidang menjadikan
Mesir masuk masa Liberal
(liberalage). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan
antara agama, kebudayaan dan politik. Dengan berkembangnya pemahaman liberal di
Mesir, lahirlah apa yang disebut an-Nahdah (renaissance). Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan
dan mengasimilasi prestasi-prestasi peradaban Eropa modern, sementara
kebudayaan klasik Arab sedang mengalami kemunduran. Secara garis besar dapat
dilihat adanya tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu :
a. The
Islamic Trend (Kecenderungan pada Islam), akhiran ini di wakili oleh Rasyid
Ridha (1865-1935) dan Hasaan Hanafi, Hasan Al-Banna (1906-1944)
b. The Syntetic Trend
(Kecenderungan mengambis sintesa), kelompok yang berusaha memadukan
antara Islam dan kebudyaaan Barat.
Kelompok ini diwakili oleh Muhammad
Abduh, Qasim Amin (1865-1908), Ali ‘Abd, Al-Raziq (1888 – 1966).
c. The Rational Scientific and Liberal
Trend (Kecenderungan rasional ilmiah dan
pemikiran bebas). Fisik pangkal pemikiran ini sebenarnya bukanlah Islami
melainkan peradaban Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Termasuk dalam
kelompok ini antara lain Luthfi as-Sayyid dan para emigran Syiria yang berlari
ke Mesir.
Hassan Hanafi tidak begitu setuju dengan gerakan
pemikiran di atas, walau di masa perjalanan pemikirannya sempat berpihak pada
gerakan pertama yaitu Ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami
proses dengan dipengaruhi oleh gerakan
pemikiran kedua dan ketiga, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan
demikian pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Mesir dan gerak
intelektul di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan uniknya.[5]
Sebagaimana yang kita telah pelajari, ada hal
yang berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir
sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan
oleh Fazlur Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan
menggunakan pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk
menemukan universalitas pesan moral Al-Quran yang tidak jarang
bersembunyi di balik aturan-aturan legal spesifiknya.[6]
Secara praksis penafsiran ajaran agama dalam teks-teks keagamaan baik Al-Quran
maupu hadith dari masa ke masa dari tokoh-tokoh ulama yang berbeda. Melahirkan
bentuk tafsir yang berbeda dengan metode maupun pendekatan yang bermacam-macam.[7]
Dalam perkembangan terakhir dunia,
pemikiran keagamaan mulai memperhatikan pendektan historis di samping
pendekatan normatif.[8] Pendektan historis ini berusaha
mengkaji agama dengan menghadapkan teks dengan realitas masa lalu dan realitas
kekinian.[9]
Salah satu bentuk pendekatan historis tersebut adalah pendekatan hermeneutika
dalam penafsiran teks klasik.[10]
Sedangkan model pendekatan yang diajukan Arkoun
pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat teoritis bagi
kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud
pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada
tahap teks. Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir dalam
ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami
Al-Quran. Pada titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika,
linguistik modern dan hermeneutika kontemporer.[11]
Al-Qur'an sebagai teks, berhadap-hadapan
dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan.
Karena itu diperlukan hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik,
tidak saja karena tafsir semacam itu telah kehilangan konteks eksistensialnya,
tetapi juga perkembangan metodologis
dalam teori-teori penafsiran kontemporer (diyakini) mampu menyajikan dimensi humanistik
Al-Qur'an, yang selama ini tidak jarang bersembunyi di balik kekakuan teks-teks
yang bernuansa teologis.
Jika kita menelusuri hermeneutika Hassan Hanafi
bercorak transformatif humanistik tersebut segera akan ditemukan
bahwa ada satu hal yang selama ini terabaikan atau sengaja diabaikan oleh muffasir
klasik yaitu fungsi performatif audiens yang menjadi tujuan penafsiran metode
yang selama ini hanya memperhatikan hubungan antara penafsir dan teks tanpa
pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks, hal ini mungkin
dapat di maklumi sebab mufassir klasik
lebih menganggap penafsiran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, sehingga harus
bersih dari kepentingan mufassirnya, atau barangkali trauma pada penafsiran-penafsiran teologis
yang pernah melahirkan pertarungan maha dahsyat pada masal awal Islam.
Di dalam bukunya Dialog dan Revolusi I, Hassan
Hanafi menjelaskan tentang Hermeneutika sebagai askiomatia sebuah kasus Islam
di sini dijelaskan lebih lanjut bahwasannya Hermeneutika bukan hanya berarti “Ilmu
Interpretasi”, yakni suatu teori
pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak
dari tingkat perkataan sampai ketingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari
huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, dan juga transformasi wahyu
dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Proses pemahaman hanya menduduki
tempat kedua, yakni;
a. Adalah kritik kesejarahan, yang menjamin
keaslian kitab suci dalam sejarah, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila
tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis asli, sebab jika
tidak, pemahaman terhadap sebuah teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang
pada kesalahan, bahkan walaupun pemahamannya benar.
Disinilah
hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling tepat,
berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang
melahirkan kitab-kitab suci. Dalam bahasa fenomenologis dapat kita
katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara
kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab-kitab suci.
b. Kita memiliki “Kesadaran eidetik”,
yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
c. “Kesadaran praktis” yang menggunakan makna tersebut
sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan
mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia
ini sebagai strukur ideal yang mewujudkan kesempurnaan hidup.
Ini
merupakan bagian dari hermeneutika mencari jalannya diantara dua kutub umum:
Penafsiran praktis dan hermeneutika filosofi sebagai askiomatika
menghilangkan perbedaan antara hermeneutika dan penafsiran (yang satu
bersangkutan dengan teori dan yang lain dengan praktek) atas dasar perbedaan
yang murni bersifat didaktis.[12]
C. Tauhid
Ketika Islam dipancangkan sebagai agama yang
mengatur aspek spiritual, tauhid sering dipahami sebagai keesaan Tuhan tidaklah
seluruhnya benar, analisis kita tentang Islam dan tauhid tidak bisa hanya
sebatas pada Tuhan dan mental saja. Oleh karena itu jalan terbaik untuk
memahami tauhid adalah dengan mengartikan tauhid sebagai penyatuan. Ketika gagasan ini dikembalikan pada bidang
keTuhanan maka akan berarti ”mengesakan hanya pada satu Tuhan”[13]
ketika gagasan itu dikembangkan pada bidang ketuhanan ia akan berarti keesaan Tuhan,
akan tetapi sebagaimana telah kita lihat Islam mencakup bidang-bidang keduniawian,
mental dan sekaligus tuhan. didiskusikan bahwa ada dualisme yang membagi dunia
ini pada materi dan ruh akhirnya segala sesuatu akan kembali kepada tuhan,
disinlah kita lihat bahwa tidak ada superioritas manusia atas makhluk
yang warga dunia lain. Jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam
harus diintegrasikan kedalam jaringan relasional Islam, jaringan ini diderivasikan
dari pandangan dunia tauhid, yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian,
spiritual dan material, sosial dan individual, kita kemudian akan menguji
jaringan relasional Islam melalui lima pilar kewajiban Islam yang diatur oleh
syariat Islam yakni :
- Syahadat adalah persaksian seorang muslim, syahadat merupakan kewajiban yang paling penting. Pada penggalan pertama politeisme diingkari dan keesaan tuhan dikukuhkan pada permulaan syahadat muslim menyatakan tauhid yang merupakan basis jaringan relasional Islam, pada penggalan kedua muslim mengakui bahwa Al-Quran diturunkan oleh tuhan kepada manusia melalui Muhammad dalam bagian ini mereka bersaksi atas sebuah bentuk jaringan relasional yang sempurna karena firman Allah adalah abadi dan universal
- Shalat adalah dialog spiritual langsung dengan tuhan dan setiap muslim mempunyai kesempatan yang sama, akan tetapi shalat yang diatur oleh syariat, misalnya rakaat (gerakan dalam sholat) adalah latihan fisik, lurus menghadap kiblat dan tepat waktu melatih solidaritas yang tidak terlihat dalam kehidupan muslim dan semuanya menyatukan muslim secara simbolik wudhu dan ghusla latihan bagi kebersihan badan, kostruksi masjid dan penyelenggaraan sholat jumat mencakup aspek sosial dan spiritual, muslim mendengarkan khotbah dan mendiskusikan masalah-masalah mereka dimesjid.
- Puasa, Al-Quran menyebutkan aspek mentalitas dalam puasa namun metode cara berpuasa sendiri melatih solidaritas sosial dalam merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan, puasa dikerjakan pada bulan ramadhan artinya seluruh muslim berpatisipasi langsung secara serentak ini juga merupakan gerakan sosial, dan ini juga menyatukan muslim secara simbolik.
- Zakat, pada zakat terdapat aspek sosial, spiritual dan ketika fungsi zakat efektif didalam Islam sudah tentu ia akan menyangkut aspek ekonomi.
- Haji, haji dilakukan muslim setiap setahun dalam rangka mengkaji peristiwa-peristiwa penting, dalam Islam haji menjadi peristiwa konferensi.
Dalam lima
kewajiban ini dapat kita lihat bahwa masalah yang bersifat spiritual adalah
juga bersifat materiil, aksi yang duniawi adalah juga agamawi yang individual
sekaligus sosial.
D. Arti Kiri Islam
Sejak revolusi Prancis,
kelompok radikal, kelompok Jakobin mengambil sisi kiri dari kongres
nasional sejak saat itu kanan dan kiri sering digunakan dalam terminologi
politik secara umum kiri diartikan sebagai partai yang cendrung radikal,
sosialis anarkis, reformis, prograsif atau liberal dengan kata lain kiri
selalu menginginkan sesuatu yang bernama kemanjuan. Sebenarnya kiri dan kanan
tidak ada dalam Islam tetapi ada pada tataran sosial, politik, ekonomi dan sejarah.
Hassan Hanafi mengembangkan makna kiri dalam jurnanya karena baginya kiri
mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin, kaum yang tertindas, kiri
juga menempatkan kembali rasionalisme, naturalisme, liberalisme, dan
demokrasi dalam khazanah intelektual Islam.
Penamaan kiri Islam itu akan mendatangkan
perlawanan dari dua arah. Pertama dari kelompok persaudaraan Allah yang
mengatakan tidak ada kiri dan kanan dalam Islam, Islam adalah satu, umat Islam
dan Tuhan adalah satu, masalah ini menyangkut prinsip (akidah) namun
bukan realitas umat Islam, kiri Islam berbicara pada dataran umat muslim didalam realitas historis dan sistem sosial
tertentu, kedua dari pembela status-quo ( baik politik, sosial,
dan ekonomi) yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa kiri dan kanan itu
adalah permainan kata-kata untuk memecah belah umat menyebar intrik
dan fitnah. kiri adalah penghianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang
pada kebaikan manusia. Sesungguhnya tuduhan-tuduhan itu merupakan sisa-sisa
penjajahan kultural dinegeri-negeri Islam ketika mereka mengacaukan bahasa dan
pola pemikiran secara sengaja sehingga rakyat tidak akrab lagi dengan kosa kata
bahasa termasuk kosa kata kiri dengan demikian penjajah merasa aman dari segala
macam gerakan kerakyatan yang menyerukan kebebasan dari penjajahan. Kiri Islam
bermaksud menstrafomasikan kesadaran individual menjadi kesadaran
kolektif.
Pemikiran Hassan Hanafi tentang kiri Islam Dalam
perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan ‘kiri’ sesungguhnya lebih
diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan
yang dominan, yang kemudian diberlakukan sebagai kebenaran satu-satunya.
Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai sebuah kebenaran utama, maka ia
cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal. Pada saat yang bersamaan, ia
akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berebeda dengan
pemahaman konstruksi pemikirannya merupakan sebuah kesalahan.[14]
E. Latar Belakang Dan Momentum
Kiri Islam lahir setelah berbagai motede
pembaharuan generasi meghasilkan keberhasilan relatif dan cenderung gagal
tertuma dalam mengentaskan masalah keterbelakangan yang disebabkan;
- Berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan ukhrawi
- Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi terakhir, ternyata didikte oleh kebudayaan barat berperilaku seperti peguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara
- Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energy untuk untuk mewujudkan tujuan-tuuan kemerdekaan nasional
- Nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sisem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat
Kiri Islam adalah benteng pelindung bagi Islam
dan kaum muslimin untuk melawan upaya-upaya kolonialisasi kontemporer. Dalam
hal ini Islam menjadi keyakinan yang strategis bahkan sekarang ini revolusi Islam
telah menjadi ancaman terbesar bagi negara adi daya, jelaslah gerakan Islam
telah menjadi kekuatan nyata dihadapan negara-negara super power, barat maupun
timur, dan kiri Islam adalah ideologi gerakan kaum muslim, kiri Islam juga
mengembangkan reformasi agama, dalam menghadapi ancaman-ancaman zaman dan dalam
tataran rekonstruksi pemikiran keagamaan reformatif itu sendiri.
Upaya rekrontruksi diawali dengan menjaga
jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang bercampur dengan
tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan serta mempengaruhi perilaku negatif
rakyat kita untuk hanya menunggu pemberian dan ilham dari langit.
F. Revitalisasi
Khazanah Intelektual Klasik
Dengan Al-Yasar Al-Islami (kiri Islam), Hassan
Hanafi berusaha mentransformasi kajian-kajian ilmiah atas disiplin-disiplin keIslaman
yang terpisah-pisah kepada pembuatan paradigma ideologis yang baru, termasuk
dengan mengajukan Islam sebagai alternatif pembebasan rakyat dari
kekuasaan feodal.
Di pihak lain, Al-Turats
wa al-Tajdid di persiapkan oleh Hanafi sebagai uraian komprehensif tentang
kebangkitan pemikiran Islam secara menyeluruh.
Keberhasilan mengantarkan Hassan Hanafi kepada cara berfikir yang lebih sublim
(santun/halus), tetapi lebih memberikan harapan bagi Islam sebagai mitra bagi
peradaban-peradaban lain dalam menciptakan tatanan dunia baru yang
universal.
Ilustrasi yang
digambarkan di atas, dengan beberapa
karya yang dihasilkan dan dipubilkasikan menunjukkan betapa serius
keinginan Hanafi dalam mensosialiasikan gagasan tentang “tradisi dan
modernisasi”. Gagasan hermeneutika transformasi peradaban yang kontektualisasinya jelas adalah Mesir dan dunia Arab kontemporer.[15]
Kiri Islam berada pada
dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama oleh karena itu rekrontruksi,
pengembangan dan pemurnian khazanah lama itu sangat penting. khazanah lama
terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, pertama ilmu normatif-rasional
semisal ilmu ushuluddhin dan ilmu fiqih, kedua ilmu-ilmu rasional semata
semisal me tafisika, astronomi, ketiga ilmu-ilmu normatif-tradisional
semisal Al-Quran, Hadith, Fiqh. Kiri Islam berpretensi untuk mengangkat
ilmu-ilmu klasik itu secara bertahap sehingga kita tidak lagi tergantung
pada penemuan-penemuan orang lain. Dengan demikian kiri Islam
menyepakati lima prinsip Mu’ktazilah dan berusaha merekontruksi prinsip
mu’tazilah. Mengintroduksi mu’tazilah karena mengembangkan rasionalisme,
kebebasan, demokrasi, dan eksplorasi alam, kiri Islam juga mengelaborasi Khawarij
karena mendukung revolusi Islam dan teguh dalam merebut hak-hak rakyat dan
mengembalikan martabat mereka, kiri Islam juga coba memahami Syiah setelah
gemilang mengawal revolusi akbar di Iran dan seruan mereka untuk memancangkan
harga diri Islam melawan Kolonialisme, Zionisme, Westernisme, dan Sekularisme
dengan demikian mereka sesungguhnya telah dekat dengan Ahlussunnah dan
meninggalkan kepercayaan sesatnya dimasa lalu.
Kiri Islam mengikuti paradigma fiqh dan ushul
fiqh Maliki karena ia menggunakan pendekatan kemashlahatan serta membela
kepentingan umat Islam hal ini bukan berarti Islam kiri melakukan diskriminasi
atas mazhab-mazhab fiqh melainkan untuk mengembalikan umat Islam pada sumber pertamanya,
keberanian dalam membuat keputusan hukum berdasarkan relitas dan kemashlahatan
umum bercermin pada Malikiyah, penggunaan akal secara optimal dalam interpretasi
teks bercermin pada Hanafiyah, pemaduan realitas dan rasio bercermin pada Syafi’iyah
dan komitmen terhadap teks bercermin pada Hanbaliyah.
Dalam filsafat kiri Islam mengikuti paradigma
Ibnu Rusyd yang menetapkan kembali akal dan alam pada proporsinya masing-masing.
Kiri Islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum
muslim, Islam yang semula milik umat Islam berubah menjadi Islam yang eksklusif
milik kaum sufi tarekat belaka. Jalan
sufi terdiri dari tiga tingkatan : pertama disposisi moral yang
termanifestasikan didalam nilai-nilai negatif seperti zuhud, faqr kedua
tingkatan jiwa yang didalamnya terjadi pergumulan perilaku diluar dialihkan
menjadi pergumulan didalam seperti khauf dan optimisme, ketiga
tingkatan ekstase dan manunggal dengan Tuhan secara ilustif dan fantastik.
Ditingkat inilah jalan sufi berakhir dan dunia tak pernah berubah, seolah-olah
kemenangan telah sempurna dan negara Islam telah berdiri akan tetapi kondisi
sekarang ini menunjukkan hal yang sama sekali berbeda tetapi tidak ada diantara kita yang mencoba
melepaskan diri dari krisis itu, kesabaran
telah membuat kita diam dari segala hal, ridho membuat kita membiarkan segala
hal tawakal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan sedangkan
manunggal dengan Tuhan dan ekstase telah menenggelamkan kita dalam ilusi.
Dalam ilmu hadith kiri Islam
lebih mementingkan matan (teks) dari pada sanad karena mungkin
tidak mampu melakukan kritik sanad dan mampu melakukan kritik matan
dilihat dari teks hadith apakah masuk akal atau tidak, kewajarannya dan
sebagainya. Dalam ilmu tafsir kiri Islam membangun tafsir presfektif agar Al-Quran
mendeskripsikan hubungan manusia dengan manusia lain, tugasnya didunia, kedudukannya
dalam sejarah membangun sistem sosial dan politik, sebagai ahli fiqh kita lebih
tertarik pada pengembangan muammalah dari pada ibadah, lebih memberi perhatian
pada hukum jual beli, jihad, sistem sosial, ekonomi, dan politik ditambah
dengan hukum menghadapi kolonialisme, kepitalisme, kemiskinan, dan
sebagainya. Ajaran tentang ibadah yang selama ini seolah-olah menjadi
tujuan padahal sesungguhnya sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan.
G. Menentang Peradaban Barat
Kehadiran
barat didunia Islam menuai berbagai tanggapan. Disatu sisi menimbulkan
kekaguman sebagian tokoh muslim sekaligus dijadikan sebagai sumber acuan untuk
memperbaharui kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Disisi
lain, kehadiran barat ditanggapi sebagai sebuah ancaman bagi identitas Islam
dan nasional sehingga barat yang asing harus disingkirkan dari kehidupan
masyarakat Islam ketika kolonialisme dan imperialism barat mencekram dunia Islam
kebutuhan akan perjuangan melawan barat
untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan menjadi sangat
penting.sebaliknya, perubahan dalam kultur dan struktur kehidupan perubahan
sosial, politik dan ekonomiumat Islam adalah krusial untuk menopng perjuangan
menghadapi barat.
Dunia
Islam yang sejak abad 18 menjadi mitra dagang eropa dijadikan koloni ada abad
19. Kolonialisme dan imperialisme barat dimulai dan ini
berlangsung sampai ddengan abad 20. Kendati kolonialis dan imperialis
barat sering memajukan argumen bahwa mereka datang membantu umat Islam
memecahkan masalah, namun dasar pikiran kolonialisme dan imperialisme
terlihat lebih menonjolkan sisi pencarian keuntungan untuk jangka panjang dari
wilayah-wilayah atau Negara yang dikuasainya baik berupa keuntungan ekonomi,
kultural, maupun politik. Merebaknya persaingan kepentingan antar Negara-negara
kolonialis dan imperialis didunia Islam. Dunia Islam hanya menjadi
bulan-bulanan percaturan kepentingan Negara-negara Barat dan Eropa.
Ironisnya
sumber kekayaan alam didunia Islam, hanya dinikmati sebagian kecil golongan
yaitu dari kalangan elit pemerintahan, elit ekonomi, serta para imperialis juga
sebagian besar sumber-sumber vital masih dikuasakan kepada lembaga-lembaga
asing. Kolaborasi antara imperialis dan kalangan istana melengkapi sebuah drama
mengenai proses pemiskinan rakyat. Keadaan seperti ini telah mengkristal
menjadi sebuah strutur, sehingga perubaha harus dilakuakan baik secara idelogis maupun struktural dalam
rangka memperbaiki nasib rakyat secara keseluruhan.[16]
Namun
Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme
dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara
lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional
sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme
yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme
menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik,
dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode
kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode
linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga,
Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka
sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme.[17]
Kiri
Islam hadir untuk menentang dan menggantikan kedudukan barat, kiri Islam
memperkuat umat Islam dari dalam dan tradisinya sendiri dan berdiri melawan
pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan
memperkokoh dominasi Barat. Tugas kiri Islam adalah melokalisasi barat artinya
mengembalikan pada batasan-batasan alamiahnya dan menepis mitos mendunia yang selama
ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia dan
berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai paradigma kemajuan bagi
bangsa-bangsa lain, peradaban Barat menjadi rasialisme. Rasialisme
inilah yang membuat barat bernafsu menjadikanya peradaban sebagai model tunggal.
Tugas kita mengadakan studi tentang asal-usul peradaban timur lama. Seperti
India, Persia, Mesir dan Cina yang telah lama disembunyikan Barat seolah-olah
peradaban Timur itu tidak pernah ada.
Rekonstruksi
yang ditawarkan Hanafi dapat dilihat dari pembacaannya historisitas atau
warisan tradisi masa lalu yang dibenturkan pada kondisi sekarang. Segenap aspek
baik ilmu, cabang-cabang ilmu maupun sekte-sekte yang melingkupinya menjadi
kajian dalam pengembangan pemikiran tentang masyarakat Islam. Ia berusaha mengembalikan spirit Islamiyah,
sehingga semangat perjuangan awal mula Islam sangat
diperlukan. Oleh karenanya
dekonstruksi sejarah dalam menarik titik balik peradaban masa kini adalah
niscaya.
Warisan
atau tradisi masa lalu merupakan awal untuk melihat persoalaan masa kini. Dalam
masyarakat tradisional, tradisi-tradisi tersebut memainkan peran penting dalam
ideologi politik masyarakat yang telah
disekulerkan, karena tradisi masih merupakan sumber otoritas. Tradisi masih sering digunakan sebagai alat
pembuktian atau penolakan. Oleh
karenanya untuk membangun masyarakat Islami
lebih lanjut, pandangan masyarakat
tradisional yang memandang dunia sebagai faktor utama dalam perilaku masa harus
dirubah, yaitu menempatkan
manusia sebagai pemeran utama.
Semua retorika politik dan pidato panjang yang menggiring massa untuk bekerja,
agar dapat meningkatkan produktifitas dan menekankan mereka pada tujuan
nasional telah menciptakan ketidakpekaan akan keadaan yang berkembang.
Masyarakat masih mencerna dunia dengan
pandangan bertikal.
Hubungan
antara kedua elemen (Negara dan masyarakat) berlangsung layaknya hubungan
antara superior dan inferior. Selama kultur massa tersebut
sengaja dipolakan, maka komitmen terhadap
dunia akan tetap lemah. Masyarakat akan tetap menjadi komunitas
berkelas. Administrasi Negara
menjadi terbatas pada birokrasi belaka.[18]
Gaya
hidup akan tetap patriarkal, otokritik dan otoritarian.
Apabila kultur massa tradisional hanya memandang dunia secara horisontal maka
dunia akan menjadi ajang pergerakan. Apabila hubungan antara dua elemen (Negara
dan masyarakat) berlangsung secara
sejajar dan pada level yang sama, masyarakat berkelas akan berubah menjadi
masyarakat tidak berkelas. Birokrasi akan
menjadi partisipasi rakyat dan peraturan yang dapat diterima masyarakat.
Masyarakat akan bebas menyampaikan pendapat dan mempunyai kedudukan yang sama.Dialektika
antara tuan dan budak akan berakhir. Hubungan tidak lagi berdasarkan pada superioritas
dan inferioritas, akan tetapi berdsarkan pada kesejajaran antara
kelompok yang di depan dan yang di belakang. Dinamika religius atas bawah akan
bergantug menjadi dinamika sosial depan belakang. Peningkatan berarti bergerak
ke depan, kemunduran berarti berjalan ke belakang. Perubahan secara menyeluruh
dalam kultur massa tersebut merupakan dasar metafisik dari seluruh aspek
praktis dalam rangka menata dunia, manusia, masyarakat dan sejarah
H. Realitas Dunia Islam
Kiri
Islam menyatakan pemikiran keagamaan selama ini hanya bertumpu pada model
pengalihan yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang dapat
berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu banyak mengandung kelemahan
diantaranya pertama; teks adalah teks dan bukan realitas dan arena
setiap argument adalah otentik maka penggunaan teks sebagai argumentasi
haruslah merujuk pada otensitasnya didalam realitas, kedua; teks
menuntut keimanan apriori terlebih dahulu sehingga argument teks hanya
dimungkinkan untuk orang yang percaya dan ini elitis, ketiga; teks
bertumpu pada otoritas al-kitab, keempat; teks adalah pembuktian asing
karena datang dari luar dan tidak dari dalam realitas, padahal pembuktian
keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah dari pada keyakinan yang
datang dari dalam, keenam; teks bersifat unilateral yang selalu
terkait dengn teks-teks lainnnya, ketujuh; teks selalu dalam ambiguitas
pilihan yang tak luput dari untung rugi, kedelapan; posisi sosial
seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks-teks sehingga
didalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber
pertikaian diantara kekuatan yang ada, kesembilan; teks hanya
berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan dan sebagai pemanis dalam apologi
para pengikutnya. Kesepuluh; metode teks lebih cocok untuk nasihat dari
pada untuk pembuktian, kesebelas; kalaupunn mengarah pada realitas,
metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status dan tidak menjelaskan
perhitungan kuantitatif.
Metode kiri Islam
adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas
dapat berbicara mengenai dirinya sendiri, kiri Islam langsung merujuk secara
objektif pada konteks tersebut dan mendefinisikan secara kuantitatif. Kiri Islam
mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini yakni
imperialisme, kapitalisme, zionisme, yang merupakan ancaman eksternal
serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.
Imperialisme
tetap merupakan isu terpenting Islam walaupun mempunyai berbagai ragam pada
akhirnya imperialisme adalah perang salib baru. Dibidang ekonomi imperialisme
saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional, dalam sektor
budaya ia muncul dalam bentuk westernisasi. Secara militer imperialisme
mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing. Seperi halnya banyak
bangsa-bangsa Islam yang masih tunduk dibawah pengaruh negara adikuasa
kesejahteraan dunia Islam pun masih terjerat oleh tangan besar monopolisme
keagamaan dan kita juga masih terus mengimpor pengetahuan Islam dari Barat.
Islam
berdasarkan nash Al-Quran sesungguhnya mengharamkan kita tunduk dibawah
kekuasaan yahudi Q.S. Al-Maidah ayat 51. Tugas kiri Islam adalah
melakukan redistribusi kekayaan diantara kaum muslimin dengan
seadil-adilnya sebagai mana disyariatkan Islam menurut tingkat ketekunan, usaha
dan jerih payah masing-masing. Umat Islam pun tak luput dari kenyataan
penindasan despotisme, dan penganiayaan tugas kiri Islam memperjuangkan
kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan pemerintahan deokrasi dan mengajarkan
bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan menentukan corak diegerinya.
Keterbelakangan merupakan watak umum
masyarakat yang berhubungan dengan kekurangan sumberdaya pembangunan, struktur
sosial, pandangan dunia bangsa, keterpecahan bangsa-bangsa Islam, mundurnya
tingkat kesejahteraan, keterbelakangan budaya yang berkaitan dengan pandangan
dunia manusia, perilaku bangsa, sistem sosial dan ekonomi dan keterbelakangan.
pemikiran dalam
konteks ini kiri Islam menguak misi kesejarahan umat Islam dan
mentranstraformasikan mayoritas rakyatnya dari belenggu kuantitatif ke status
kualitatif
I. Agama dan Revolusi Pembebasan
Tugas
kiri Islam adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama dan menjelaskan
pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi dalam hal ini agama menjadi
landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman. Agama adalah revolusi itu
sendiri dan para nabi merupakan revolusioner sejati. Hak menentukan nasib
sendiri dan kebebasan rakyat terdapat dalam undang-undang internasional
yang berisikan peraturan dan perjanjian internasional. Dinegara-negara yang
mempunyai kekuasaan tertentu terdapat undang-undang yang mengatur perekonomian,
sosial dan kebudayaan sebagaimana dalam pasal 1 sebagai berikut;
1. Seluruh Negara mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Mereka juga memiliki sesuai dengan kebenaran ini-
kebebasan berpendapat yang puncaknya adalah politik, juga kebebasan
ansuransi dalam pengembangan perekonomian, sosial dan budaya.
2. Diperbolehkan bagi suatu bangsa untuk
mengeksploitasi hasil kekayaan dan sumber daya alam demi memenuhi
kebutuhannya. Asalkan pengeksploitasian tersebut tidak bertentangan
dengan berbagai kewajiban yang dikeluarkan oleh badan kerjasama ekonomi
internasional yang berlandaskan prinsif tukar menukar profit dan undang-undang
internasional. Tidak diperbolehkan sama sekali memberikan hak istimewa terhadap
suatu Negara disebabkan oleh kehidupan mereka yang khusus
Salah
satu unsur dari unsur-unsur kebebasan bangsa adalah memberikan hak mereka dan
menentukan nasibnya sendiri baik dalam bidang politik ekonomi sosial dan
kebudayaan. Tertulis dalam pasal pertama piagam persatuan bangsa-bangsa bahwa”
tujuan dari PBB adalah menumbuh kembangkan hubungan persahabatan antar bangsa
dengan dasar memuliakan prinsipyang menerima persamaan hak menentukan nasibnya
sendiri.
Dan
untuk membantu kebebasan bangsa, dalam siding plenonya, pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan ketetapan tanggal 14 januari tahun 1960 dengan judul; (Deklarasi
Pemberian Kemerdekaan Keada Negara Dan Bangsa Yang Terjajah), ketetapan ini
membuat penghapusan penjajahan dan penjelasan hak bangsa dalam kemerdekaan dan
menentukan nasibnya sediri.
Termaktub
dalam pasal 11deklarasi hak asasi manusia sedunia sebagai berikut:
1. Manusia dilahirkan dalam keadaan bebas
dan tidak ada seseorang pun yang menjadikan budak, menghinanya, menaklukkannya atau
mempekarjakannya serta tidak ada penyembahankecuali terhadap allah SWT
2. Penjajahan dengan segala bentuknya dan
sebagai jalan yang paling buruk dalam perbudakan dilarang dengan pelarangan
yang keras. Bagi bangsa yang menderita merupakan kebenaran yang sempurna untuk
membebaskannya dari penderitaan itu dan kemudian diberikan hak untuk menentukan
nasibnya sendiri. Seluruh bangsa dan Negara wajib memberikan bantuan kepada
bangsa terjajah untuk berjuang mengusir penjajahan dan segala bentuknya. Hak
seluruh bangsa untuk menjaga identitasnya yang merdeka dan menguasai seluruh
hasil kekayaan dan sumber daya alam
Dalam
Islam jihad dan pebebasan menciptakan keselarasan antara hak-hak asasi dan
pensyariatan jihad, diisyaratkan jihad dalam Islam hukumnya tidak dihapus
adalah ketetapan terhadap keadaan memusuhi umat Islam dan dakwah kaum muslimin,
Negara kehormatan dan anggota orang muslim dan untuk menyelamatkan orang yang
lemah yang membutuhkan pertolongan orang-orang muslim. Jihad wajib untuk
mempertahankan yakni orang Islam tidak menyerang dengan tiba-tiba kepada mereka
dengan adanya pergerakan yang rumit atau intimidasi secara terus menerus
atau membahayakan. Bagi orang Islam perang adalah memerangi orang yang
memerangi kita. Islam tidak memperbolehkan dalam keadaan perang untuk memerangi
orang-orang sipil, perempuan, anak-anak, pendeta-pendeta, para petani, orang-orang
tua, dan buta, tidak diperbolehkan melanggar dan merusak peradaban dan kemegahan
kota dengan merobohkan bangunan, perumahan dan tempat tinggal serta tidak
diperbolehkan menebangi pohon.
Tidak
dilarang bagi kaum muslimin untuk menerapkan prinsip toleransi beragama,
persahabatan antara bangsa dalam keberanakaragaman agama, mazhab dan politik.
Ini artinya rukun antar aliran-aliran politik dan sosial damai dan mendapatkan
jaminan yang baik, cinta kasih hubungan kekeluargaan dan bersatu disinilah Islam
dikatakan sebagai agama yang sesuai antara teori dan praktik, mereka menikmati
kehidupan dinegara Islam dengan nasionalisme dan kewarganegaraan yang utuh.
Mereka juga mempunyai hak perwalian sebagai pegawai umum tidak sekedar sebagai
pegawai kelas dua.
Jihad
didalam Islam tidak sebagaimana penjajahan pada zaman sekarang. Jihad tidak dimaksudkan
sebagai perampasan dan penyitaan terhadap kekayaan alam Negara yang dijajah dan
menguasai berbagai tempat penghuninya.[19]
J. Integritas Bangsa
Kiri Islam
bukanlah suatu mazhab baru dalam Islam, teologi maupun fiqh melainkan upaya
mempemersatukan kaum muslimin sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan
zaman terhadap nilai-nilai kebebasan keadilan dan keajuan. Pertama kiri Islam
menawarkan dialog kepada kaum persaudaraan dalam Allah (Ikhwanul Muslimin)
yang ditopang oleh majalah Ad-Da’wah Al-Islamiyah
Dengan mengakui eksistensi mereka dimesir
dan dunia Islam diakui pula literatur-literatur cukup kaya dengan premis-premis
sosiologis walaupun fundamentalistiknya masih sangat kental oleh karena itu
dialog yang ditawarkan adalah untuk mencari titik-titik persamaan agar kita
bersatu dan terhadap titik-titik perbedaan kita saling menghormati akan tetapi
disayangkan gerakan ini tidak dapat mewujudkan cita-cita Islam karena kemudian
hanya menjadi slogan sebagaimana kaum nasionalis dan sekularisme gagal
untuk menafsirkan kembali tradisi dan spiritulitas rakyat dalam mewujudkan
kebebasan dan keadilan yang menjadi tututan dan tujuan nasional.
Kedua kiri Islam
menawarkan dialog kepada persaudaraan nasional marxisme, nasserisme, dan
liberalisme. Kiri Islam menawarkan metode dan pendekatan yang lebih efektif
dengan merujuk pada tradisi umat untuk mendapatkan akar dan kesinambungan
sejarah. Kaum liberal telah meletakkan dasar untuk pembangunan ekonomi nasional
sebagaimana mereka menganjurkan kebebasan berfikir, meniupkan spirit
nasionalisme dan mempelopori gerakan pembebasan nsional, kaum marxis berjasa
dalam peperangan melawan kolonialisme, memperkuat kesadaran kelas kaum buruh,
pembentukan karakter revolusioner dikalangan mahasiswa dan aktif dalam rintisan-rintisan
persatuan nasional, sedangkan nassarisme telah melakukan prestasi besar dalam
sejarah sejak Muhammad Ali meletakkan enam prinsip yang terkenal: perang
melawan embargo, perang melawan kapitalisme, perang melawan kolonialsme,
mewujudkan keadilan sosial, demiliterisasi, dan demokrasi kemudian juga
menyempurnakan UU Landreform I.II,III, kiri Islam tidak lagi merasa terkungkung
untuk mengekspresikan dirinya baik sebagai keIslaman maupun kearaban,
universalis maupun nasional, dan keagamaan maupun sekuler[20]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasan
Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Repubublik Arab Mesir pada tanggal 13 Februari
1935, Pada usia sekitar lima
tahun, Hanafi mulai menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid
berlangsung dijalan Al-Banwahi. Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11
Oktober 1956 dari kuliyyat Al-Adab (Fakultas Sastra) jurusan universitas
filsafat kairo Hanafi
menyusun disertasi yang berjudul Essai Sur La Method D’Exegese (esai tentang
metode penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman memperoleh penghargaan untuk
penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
Kiri
Islam secara keseluruhan terbebas dari pengaruh Barat dan Timur, kiri Islam
merefleksi pemikiran historis yang mempresentasikan suatu gerakan sosial politik
dalam khazanah klasik dengan menggali akarnya pada Al-Quran dan sunnah dan
hanya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Pemikiran kiri Islam lahir di mesir
yang merupakan pusat dunia dan jantung Arabisme, kiri Islam tidak
menganjurkan siapapun untuk memberontak pada pemerintahan yang sah karena bagi
kiri Islam medan percaturan yang paling mendasar terletak pada kebudayaan dan
kesadaran historis rakyat, ukuran keberhasilan setiap gerakan bukanlah
tercapainya pada kekuasaan melainkan pada pencerahan menyeluruh.
Kiri
Islam ditujukan untuk membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyonsong
kebangkitan modern rakyat, kiri Islam tidak terpengaruh oleh bayang-bayang
kejayaan Islam tujuan kiri Islam justru mengubah bayang-bayang itu menjadi
wacana pemikiran, dialog, pencerahan agar kejayaan Islam dapat
termanifestasikan dalam wujud kesejahteraan. Kiri Islam mengekspresikan
kebutuhan umat Islam dewasa ini terhadap pemikiran dan instuisi gerakan dan
perubahan, masa lalu dan era baru, serta tradisi dan kebaruan, oleh karena itu
ia menampilkan diri dengan bahasa konvensional yang menggabungkan antara
analisis dan ajakan ditujukan baik kepada awam maupun elit dan bertumpu pada
upaya individual untuk menjaga kemerdekaannya serta pada gilirannya menghidupkan
vitalitas sejarah rakyat.
Daftar
Pustaka
Badruzaman,
Abad Kiri Islam Hasan Hanafi.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2005.
Shimogaki, Kazoo Kiri Islam. Yogyakarta:
LKiS, 2007.
Az-Zuhaili,Wahbah
Kebebasan Dalam Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Hanafi,Hassan
Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer.
Yogyakarta : Jendela. 2001.
Hady,
Samsul Politik Islam Nasserisme Dalam Pergulatan Politik Timur Tengah.
Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Hanafi,Hassan
Humum al-Fikr wa al-Wathan, Juz
II. al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir Dar Quba. Kairo:1998.
Hanafi,Hassan Dialog Agama dan Revolusi I. Jakarta: Pustaka
Firdaus.1994.
Abdillah,
Hasan Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, Surabaya: Jawara Surabaya. 2004.
Saenong,
Ilham Baharudin Hermeneutika
Pembebasan Hassan Hanafi, MK Metodologi Tafsir al-Qur'an menurut Hassan Hanafi.
Jakarta: Teraju. 2002.
Fazlurrahman,
Neo Modernisme Islam, cet. I. Bandung: Mizan Media. 998.
Arkoun,
M Nalar Islami dan Nalar Modern. terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS.1994.
Ridwan,Ahmad.
Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktulisasi
Tradisi Keilmuan Islam. Yogyakarta: ITTAQA Press.1998.
Santoso,
Listiyono( eds) Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri.
Esposito,
L John dan John O. Voll Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. terj.
Sugeng Haryanto (eds). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Munawir,Fajrul
(eds) Tafsir Al-Qur’an. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 124
Nata,Abuddin
Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Faiz,Fahruddin
Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ Press,
2005.
Wahid,Abdurrahman
Hasan Hanafi Dan Eksperimentasinya. Yogyakarta: Lkis, 2007.
Maulana,Ahmad
(eds) Kamus Ilmiah Popular. Yogyakarta: Absolut, 2008.
[1]Abdurrahman Wahid, Hasan
Hanafi dan eksperimentasiny (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. ix.
[2]Abad Badruzaman, Kiri
Islam Hasan Hanafi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2005),hlm 41-46.
[3]Abdillah Hasan,
Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004), hal 317
[4] Ahmad Ridwan, Reformasi
Intelektual Islam : Pemikiran HASSAN HANAFI Tentang Reaktulisasi Tradisi
Keilmuan Islam (Yogyakarta; ITTAQA
Press, 1998), hlm. 9 -12.
[5]Ilham Baharudin
Saenong, Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi, MK Metodologi Tafsir
al-Qur'an menurut Hassan Hanafi (Jakarta; Teraju, 2002), hlm. 52-53
[6]Fazlurrahman, Neo
Modernisme Islam, (cet.I; Media Bandung; Mizan, 1998), hlm. 57.
[7]Fajrul Munawir (eds),Tafsir
Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 124.
[8] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 47.
[9] Munawir (eds), Neo
Modernisme, hlm. 143.
[10]Fahruddin Faiz, Hermeneutika
Al-qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta; ELSAQ Press, 2005), hlm. 15
[11]M. Arkoun, Nalar Islami
dan Nalar Modern, terj Rahayu S .Hidayat (Jakarta: INIS 1994).
[13]Ahmad Maulana (eds), Kamus
Ilmiah popular (Yogyakarta: Absolut, 2008), hlm.89.
[14]Listiyono Santoso
(eds), Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri, hlm. 17.
[15]Hassan Hanafi, Humum
al-Fikr wa al-Wathan, Juz II Al-Fikr Al-‘Arabi Al-Mu’ashir (Kairo; Dar
Quba’1998), hlm. 77-79.
[16]Samsul Hady, Politik
Islam Nasserisme Dalam Pergulatan Politik Timur Tengah (Malang; UIN Maliki
Press 2010), hlm. 14-17.
[17]John L Esposito dan
John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng
Haryanto (eds), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[18]Hassan Hanafi, Agama
Kekerasan dan Islam Kontemporer (Yogyakarta; Jendela, 2001), hlm.77.
[19]Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan
Dalam Islam (Jakarta Timur; Pustaka Al-Kautsar 2005), hlm. 225-234.