Sabtu, 04 Juni 2016

dinasti-dinasti kecil ditimur baghdad


                   DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Matakuliah Studi Peradaban Islam

Dosen Pengampu:
Dr. H. Fadil SJ,M.Ag




oleh
UMI FATMAYANTI
NIM. 14761018
No. Absen : VI

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan kepada zaman yang berisi ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
            Penulis mengajukan makalah ini guna menyelesaikan tugas mandiri yang diberikan oleh dosen mata kuliah studi peradaban islam, Dr. H. Fadil SJ,M.Ag dan agar kalangan intelektual terutama mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin bangsa di  masa mendatang dapat memahami Studi peradaban islam sehingga dapat diajarkan disekolah
            Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan pihak perpustakaan yang telah meminjamkan berbagai buku mengenai tema yang penulis angkat sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan pada waktunya.
            Penulis juga mohon maaf kepada semua pihak, apabila masih banyak terdapat kesalahan dalam penyelesaian makalah ini. Karena penulis juga masih dalam proses belajar dan masih membutuhkan bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.
Kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Batu, 6 Juni 2015


           
Penulis



DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................       I
Daftar Isi...........................................................................................................      II
Bab I  :Pendahuluan.........................................................................................       1
A.    LatarBelakangMasalah.........................................................................       1
B.     RumusanMasalah..................................................................................      1
C.     TujuanPenulisan....................................................................................       2
Bab II :Pembahasan
A.    Masa Disintigrasi Bani Abbas..............................................................       3
1.      Pengertian Disintegrasi...................................................................       3
2.      Penyebab Disintegrasi Bani Abbasiyah..........................................        4
3.      Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah...............................         7
4.      Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah..............................................         9
B.     Desentralisasi Kekuasaan Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan.......                      10
1.      Pengertian Desentralisasi................................................................      10
2.      Dinasti Thahiriyah...........................................................................      11
3.      Dinasti Saffariyah...........................................................................      13
4.      Dinasti Samaniyah..........................................................................      15
5.      Dinasti Ghaznawiyah......................................................................      16
C.     Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur.                       18
Bab III: Penutup...............................................................................................     20
A.    Kesimpulan...........................................................................................     20
Daftar Pustaka..................................................................................................     22


 

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakanng Masalah
Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas paman rasulullah SAW sementara pemerintahan pertama adalah Abdullah Ash-Shaffah Bin Muhammad Bin Ali Bin Abdullah Bin Abbas Bin Abdul Muthalib. Dinasti bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah, perkembangan peradaban serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah mendorong para penguasa untuk hidup mewah ditambah lagi kelemahan khalifah kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu’tasim untuk mengambil kembali pemerintahan.
Pada masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakil orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat setelah Al-Mutawakil wafat merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada ditangan bani Abbas meskipun mereka tetap menjabat sebagai khalifah. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini hanya empat yang dibunuh, mereka diturunkan denga  paksa, setelah tentara turki itu melemah dengan sendirinya  didaerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari pemerintahan pusat  dan mendirikan dinasti-dinasti kecil.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis membatasi merumuskan masalah yang akan dibahas yakni;
1.      Apakah yang dimaksud dengan Masa disintegrasi bani Abbas
2.      Bagaimanakah Disentralisasi kekuasaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang meliputi;
·         Dinasti Thahiriyah,
·         Dinasti Saffariyah,
·         Dinasti Samaniyah dan
·         Dinasti Ghaznawiyah

C.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
1.         Untuk mengetahui pengertian dari masa Disintegrasi bani Abbas
2.         untuk mengatahui bagaimana disentralisasi kekuasaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang meliput;
·         Dinasti Thahiriyah,
·         Dinasti Saffariyah,
·         Dinasti Samaniyah dan
·         Dinasti Ghaznawiyah




BAB II
PEMBAHASAN
A.       Masa Disintegrasi Bani Abbas
1.        Pengertian Disintegrasi
Pengertian Disintegrasi dalam kamus bahasa Indonesia yaitu keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan[1]. Masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194 H). merupakan masa keemasan bani Abbasiyah. Namun, benih-benih disintegrasi sudah mulai terjadi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.) dan kepada puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun Ar-Rasyid, Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya Al-Amin dan mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifaan Al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.) juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut  kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur besar[2]
2.        Penyebab Disintgrasi Bani Abbasiyah (1000-1250 M)
a.    Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri
Dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad dikarenakan adanya kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi[3]. Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan bagdad pada masa dinasti abbasiyah diantaranya ;
Yang berbangsa Persia
·      Thahiriyah di khurasan (205-209 H / 820-872 M)
·      Shafariyah difars (254-290 H / 868-901 M)
·      Samaniyah di transoxania (261-389 H / 873-998 M)
·      Sajiyah di Azerbaijan (266-318 H /878-930 M)
·      Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H / 932-1055 M)
Yang berbangsa Turki
·      Thuluniyah di mesir (254-292 H / 837-903 M)
·      Ikhsyidiyah di turkirstan (320-560 H / 932-1163 M)
·      Ghaznawiyah di afganistan (351-585 H/ 962-1189 M)
·      Dinasti saljuk dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa kurdi
·      Al-barzuqani (348-406 H / 959-1015 M)
·      Abu ali (380-489 H /990-1095 M)
·      Ayubiyah (564-648 H / 1167-1250 M)
Yang berbangsa arab
·      Idrisiyah dimarokko ( 172-375  H / 788-985 M)
·      Aghlabiyyah ditunisia (184-289 H / 800-900 M)
·      Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H / 825-898 M)
·      Alawiyah di tabaristan (250-316 H /864-928 M)
·      Hamdaniyah di Aleppo dan mausil (317-394 H / 929-1002 M)
·      Mazyadiyyah di hillah (403-545 H /1011-1150 M )
·      Ukailiyyah di maushil (386-489 H / 996-1095 M )
·      Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H / 1023-1079 M)
Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
·      Umawiyah di spayol
·      Fatimiyah di mesir
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu tampak jelas antara persaingan antar bangsa, terutama antara arab, Persia dan turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, faktor lain juga yang menyebabkan daerah yang memerdekakan diri adalah:
·         Luasnya wilayah kekuasaan dinsati abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukann bersamaan dengan itu tingkat saling kepercayaan dikalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah
·         Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi
·         Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentra sangat tinggi

b.   Perebutan Kekuasaan Dipusat Pemerintahan
Perebutan kekuasaan terlihat pada periode ke dua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya tidak ada usaha untuk merebut jabatan khalifah dari tangan bani Abbas yang ada hanyalah usaha untuk merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di pegang bani abbas. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan dipusat  maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti kecil yang merdeka. Tentara turki berhasil merebut kekuasaan mereka. Ditangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Pada periode kedua dan ketiga daulat abbasiyah berada dibawah kekuasaan bani buwaih, kemudian dinasti ini jatuh ketangan Seljuk
c.    Perang Salib
Dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arsenal adalah peristiwa manzikart (tahun 464 H) tentara ini berjumlah 15000 berhasil mengalahkan tentara romawi yang berjumlah 200.000 orang terdiri dari tentara romawi, ghuz, al-akraj, al-hajr, perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat islam. Perang ini terjadi dalam tiga periode yaitu periode pertama terjadi pada musim semi tahun 1095 M orang eropa sebagan besar bangsa perancis dan norman berangkat menuju konstatinopel, kemudian ke palestina, tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemind, dan Reymond mereka berhasil memperoleh kemenangan, periode kedua, Imanuddin Zanki penguasa moshul dan irak berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa tahun 1144 dan digantikan putranya Nuruddin Zanki yang berhasil merebut antiochea, jatuhnya Edessa menyebabkan orang-orang Kristen mongorbankan perang salib kedua, periode ketiga dipimpin oleh raja jerman, Frederick. Walaupun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib namun kerugian yang mereka derita banyak sekai yang kemudian mengakibatkan politik umat islam melemah dan mereka malah terpecaha belah

3.        Sebab-Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
a.    Faktor-Faktor Internal
                                            i.          Persaingan Antar Bangsa
khilafah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh kedua nasib yang sama pada masa dinasti umayyah berkuasa, kedua sama-sama tertindas, setelah abbasiyah berdiri, abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan, abbasyah memilih orang-orang persia dari pada arab dikarenakan sulitnya orang-orang arab melupakan bani umayyah dan orang arab sendiri terpecah belah. Meskipun demikian orang-orang Persia tidak merasa puas mereka menginginkan raja dan pegawai dari Persia pula selain itu orang arab menganggap darah (ras) mereka istimewa sehinngga memandang rendah orang non arab, selain itu wilayah kekuasaan abbasiyah sangat luas seperti maroko, mesir, Persia, irak turki dan india mereka disatukan oleh bangsa semit, akibat adanya fanatisme kearaban sehingga muncul fanatisme lain yang melahirkan gerakan su’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini  tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa, sementara khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak Persia atau turki dijadikan pegawai dan tentara mereka diberi nasab dinasti dan diberi gaji. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah abbasiyah berdiri akan tetapi karena para khalifah orang-orang yang kuat mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga, setelah Al-Mutawakil dominasi tentara turki tak terbendung lagi, kekuasaan dinasti Abbasiyah sebenarnya sudah berakhir kekuasaan berada ditangan orang-orang turki, posisi ini kemudian direbut bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan dilanjutkan oleh dinasti Saljuk pada periode keempat
                       ii.          Kemerosotan Ekonomi
Setelah khalifah memasuki periode kemunduran pendapatan negara menurun bersamaan dengan kemunduran politik yang disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang menggangggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan khalifah dan pejabat yang semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan pejabat melakukan korupsi.
                     iii.          Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan, kekecewaan oranng-orang persia mendorong sebagian mereka mempropogandakan ajaran manuisme, zorasterisme dan mazdakisme, munculnya gerkan zindiq menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mahdi mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi gerakan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bidah. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq terus berlanjut mulai dari konflik yang sederhana sampai konflik yang menumpahkan darah .
Pada saat gerakan ini tersudut pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran syiah, sehingga banyak aliran syiah yang dianggap ekstrim dan menyimpang. Aliran syiah memang dikenal sebagi aliran politik dalam islam yang berhadapan dengan paham ahlu sunnah, antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa, Al-Mutawakil misalnya memerintahkan agar makam Husain dikarbela dihancurkan namun anaknya Al-Muntashir kembali memperkenankan orang syiah menziarahi makam husaein. Konflik yang dilatar belakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau ahlu sunnah dan syiah akan tetapi juga antar aliran dalam islam . mu’tazilah yang cendrung rasional dituduh sebagi pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan dipertajam oleh khalifah ketujuh dinasti abbasiyah dengan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi namun pada masa dinasti Seljuk yang menyangkut aliran As’ariyah, penyingkiran golongan mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Pemikiran pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembang kreativitas intelektual, konon sampai sekarang
b.   Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menyebabkan khilafah bani abbasiyah lemah dan akhirnya hancur antara lain; pertama perang salib yang terjadi beberapa periode, kedua; serangan tentara mongol yang menyerang wilayah kekuasaan islam[4]
4.        Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan dinasti abbasiyah ialah ketika bagdad dihancurkan oleh pasukan mongol yang dipimin oleh Hulagu Khan, 656 h/1258 M. hulagukhan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa dicina hingga asia tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskan untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari cina kepangkuannya. Bagdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah. khilafah bani abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di baitul hikmah dibakar dan dibuang ke sungai tigris sehingga berubalah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu. Dengan demikian lenyaplah dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dan percaturan kebudayaan dan peradaban islam dengan gemilang[5]


B.       Desentralisasi Kekuasaan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
1.      Pengertian Desentralisasi
Menurut KBBI desentralisasi; // déséntralisasi/ 1 sistem pemerintahan  yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah; 2 penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang)[6]. sedangkan menurut para ahli
Menurut Smith, desentralisasi adalah pengalihan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal, dari tingkat atas ke tingkah yang lebih rendah dalam hierarki territorial.
Menurut Bambang Yudoyono, desentralisasi adalah pembagian kekuasaan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan bentuk dan kadar yang tampak dan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.
Menurut Vincent Ostrom, desentralisasi adalah mendekatkan negara kepada masyarakat sehingga tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun implementasi kebijakan.
Menurut PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), desentralisasi adalah pemindahan kekuasaan dari pemerintahan pusat pada pejabat wilayah maupun melalui devolusi pada badan otonom daerah.
Dari pengertian desentralisasi menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi bisa mendatangkan manfaat-manfaat dalam tugas pemerintahan dan pembangunan. Manfaat-manfaat yang dimaksud adalah; (1) efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintah, (2) kemungkinan melakukan inovasi, dan (3) meningkatkan motivasi, moral, komitmen, dan produktivitas. Semua manfaat tersebut tentunya tidak dapat dirasakan secara maksimal bila perencanaan strategi masih belum matang dan belum mampu diterapkan dengan maksimal oleh pemerintah.[7]
2.         Dinasti Thahiriyah (200-259 H / 820-872)
Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia terlahir di desa Munsanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai penglima perang pada masa khalifah Al-Makmum. Ia telah banyak berjasa dalam membantu khalifah Al-Makmum dalam menumbangkan khaklifah Al-Amin dan mendamaikan pembrontakan kaum Alwiyyin di Khurasan. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau Dzul Yaminayn , bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir juga memperoleh kepercayaan untuk menjadi gubernur di kawasan Timur Bagdad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai pusat pemerintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karier politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H, setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah ibn Thahir.[8]
Pada mulanya Al-Makmum memberikan kesepatan ke pada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H menjadikan kota Marw sebagi tempat kedudukan gubernur, setelah ia wafat jabatan diserahkan kepada anaknya yaitu Thalah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun sejak tahun 207-213 H, setelah Thalah kekuasaan berpindah ketangan penerusnya Abdullah Ibn Thahil 213-248 H selama memegang pemerintahan setigkat gubernur dinasti Thahiri mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan abbasiyah di Bagdad, bahkan daerah persiapun diserahkan oleh Alma’mun kepada penguasa Abdullah Ibn Thahil pada tahun 210 H wilayahnya diperluas ssampai kedaerah Suriah dan Jazirah. Pada tahun 213 Al-Makmum menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada saudaranya sendiri yakni Abu Shak Ibn Harun Al-Rasyid hal ini dilakuakan khalifah Al-Makmun setekah ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn Tahahir yang diketahui ternyata cenderung memihak kepada keturunan Ali Bin Abu Tahlib
Setelah Abdullah Ibn Tahir jabatan gubernur Khurasan diegang oleh saudaranya yaitu Muhammad Ibn Thahirb 248-259 H. Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahir. Kemudian daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Safari  merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan. Walaupun beberapa kekuasaan atas wilayah mereka dikurangi oleh khalifah mereka harus tetap mempertahankan wilayah dengan menjaga hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah dan saling membantu dalam kekuasaan Abbasiyah. Hal  ini terbukti ketika Mu-Tashim  harus memerangi pemberontakan  Al-Maziyar Ibn Qarun dari Tabarrisan. Abdullah Ibn Thahir turun tangan Menyelesaikan Al-Maziyar. Akan tetapi ketika dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran  tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap mereka mengalihkan perhatian kepada keluarga Safari yang mulai menggrogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan. Dalam keadaan mulai melemah keluarga dan pengikut alawiyyin di Tabaristan menggunakan kesempatan untuk memunculkan gerakan yang bersamaan dengan gerakan safari  yang terus mendesak kukuasaan thabari dari arah selatan pada tahun 259 H jatuh dan berakhirlah dinasti Thahiri
Para ahli sejarah mengakui bahwa zaman Thahiri memberikan banyak sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia islam. Kota Nisabur berhasil bangkit dan menjadi salah satu pusat perkembangan kebudayaaan dan ilmu pengetahuan, dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh khalifah Abbasiyah untuk menjaga ketentraman dan kemajuan dunia islam mereka berhasil menguasai dan mengamankan wilayah sampai ke Turki yang sultannya telah menyatakan kesetiaan dan ketaatan sebagai umat islam yang tunduk dibawah kekuasaan khalifah abbasiyah
3.         Dinasti Saffariyah
Dinasti safariyah didirikan oleh Ya’kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan orang tunya kelurga ini berasal dari Sijistan, selain dia ahli dalam bidang ini ia juga gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.
menurut Boswort, sekalipun singkat kelompok saffariyah ini memiliki kekuasaan yang cukup luas dan megah, Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan pada waktu itu karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu Ya’kub ditunjuk untuk memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap daulah Abbasiyah dibagian timur khususnya di Sijistan. Ketika Ya’kub menjadi panglima perang, ia berhasil mengalahkan pembangkang dalam waktu relatif singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat amir di Khurasan, selanjutnya menguasai kota harat dan busang setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin didaerah itu. Ya’kub juga menaklukkan sisa-sisa kekuasaan yang pernah dikuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di Khurasan sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap. Ya’kub berambisi menduduki kekuasaannya dengan gerakannya yang membabi buta ia melanjutkan gerakannya sampai Persia, Irak dan Ahwaz. Karena inilah Boswort menyebutkan bahwa dinasti saffariyah ini luas. Saffariyah dikenal juga dengan pemimpin rakyat jelata, Perilaku mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen mereka juga tokoh-tokoh radikal. Khalifah Abbas di Baghdad yang waktu itu dipimpin oleh Mu’tamad menunjukkan kelemahannya dengan menyerahkan sebagian daerah kekuasaannya meliputi Kurasan, Tibrasan, Jurjan dan Ar-Ra
Ya’kub menjadi pemimpin selama 11 tahun setelah ia meningggal pada tahun 878 kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya Amr Ibn Laits, sikap amir tidak keras bahkan ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan bagdad yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh bagdad pada daerahnya namun ada analisis yang menyebutkan bagdad melunak terhadap Amr dengan tujuan lebih menenagkan suasana dan menstabilitas politik karena jika Al-Mu’tammad tidak mendukungnya dikhawatirkan kelompok Amr ini akan menambah masalah, kekuasaan Amr dieliminasi, diantaranya daerah khurasan yang dicabut adalah daerah khurasan dan diberikan kepada Mahmud Bin Thahir. pada saat khaliah bagdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, bagdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan ulama. Pembesar istana menahan Amr kemudian memberikan kekuasaan kepada cucunya Thahir Ibn Muhamad Ibn Amr, setelah Thahir kekuasaannya diberikan kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits., pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat dinasti saffariyah.


4.         Dinasti Samaniyah (875-1004 M)
Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu saman oleh khalifah Al-Makmun menjadi gubernur didaerah Samarkand, Pirgahana, Shash dan Harat yang ada dibawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Akan tetapi ternyata selain mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat cucu tersebut juga mendapat simpati warga Persia, iran. Awalnya simpati mereka hanya dikota-kota kekuasaannya kemudian menyebar keseluruh negeri iran termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, Tabanistan dan daerah Tranxosiana dikhurasan
Berdirinya dinasti Samaniyah ini didorong pula oleh masyarakat islam yang waktu itu ingin memerdekakan diri terlepas dari Bagdad, pelopor yang pertama kali memproklamasikan dinasti samaniyah adalah Nash Ibn Ahmad (874 M) cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterin, dan dicetuskan di Transoxiana, kemajuan dinasti ini cukup membanggakan baik dalam bidang filsafat juga politik, pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini ialah Ibn Sina yang pada waktu itu pernah menjadi menteri, dinasti ini juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini karena adanya hubunngan baik antara kepala daerah dan pemerintahan pusat yakni dinasti Abbasiyah
Setelah mencapai puncak kegemilangannya semangat fanatik kesukuan pun cukup tinggi oleh karena itu ketika banyak imigran turki yang banyak menduduki posisi dipemerintahan serta merta para imigran turki dicopot karena faktor kesukuan.  Akibat ulahnya ini, dinasti Samaniyah mengalami kehancuran, karena mendapat penyerangan dari bangsa turki. Dengan keruntuhannya ini, tumbuh dinasti kecil baru, yaitu dinasti Al-Ghaznawi yang terletak di india dan turki. Dinasti samaniyah juga telah berhasil menciptakan kota Bukhara sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan ynang terkenal diseluruh dunia, karena selain Ibn Sina, muncul juga para pujangga da ilmuwan yang terkenal, seperti Al-Firdasi, Ummar Kayam, Al-Biruni, dan Zakaria Ar-Razi. selain kota Bukhara Samaniyah juga berhasil membangun Samarkand hingga mampu menandingi kota-kota lainnya di dunia islam pada waktu itu. kota, selain berfungsi sebagai kota ilmu pengetahuan dan budaya, juga telah menjadi kota perdagangan. Samaniyah telah lenyap, namun perjuangan dan pengorbanannya dalam mngembangkan islam senantiasa diingat oleh umat islam.[9]
5.         Dinasti Ghaznawiyah
Selain persoalan biasa yang muncul dari pergolakan aristrokrasi militer dan situasi sulit yang menyangkut suseksi pemerintahan, muncul juga ancaman baru, yakni para pengembara Turki yang bergerak menuju utara. Bahkan didalam Negara sendiri kekuasaan berangsur-angsur diambil oleh budak-budak turki, yang justru merupakan golongan yang sering diadili oleh penguasa Samaniyah, sebelah selatan Oxus, perlahan-lahan dicaplok oleh dinasti Ghaznawi yang berkuasa dibawah pimpinan salah satu budak Turki. Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa samaniyah serta dianugrahi pos penting dalam pemerintahan adalah Al-Ptigin, yang melalui kariernya sebagai pengawal dan pada 961 dipromosikan menjadi gubernur khurasan. Tetapi segera setelah itu ia tidak lagi disukai oleh penguasa samaniyah yang baru, hingga akhirnya ia pergi menuju daerah perbatasan sebelah kiri timur kerajaan. Pada tahun 962 dia merebut Ghaznah terletak di Afganistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen yang kemudian berkembang menjadi iperium Ghaznawi  yang wilayahnya meliputi Afganistan dan Punjab (962-11186). Tetapi pendiri dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin (976-997) seorang budak dan menantu Al-ptigin. Enam belas raja Ghaznawi yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya. Subugtigin memperluas wilayah kekuasaan hingga meliputi wilayah Pesyawar di India dan Khurasan di Persia yang pertama kali ia kuasai ketika masih berada dikekuasaan Samaniyah
Raja paling terkemuka dari dinasti ini adalah Subuktigin, Mahmud (999-1030). Ibu kota Negara Ghaznah berada dipuncak sebuah bukit tinggi yang dari situ ia bisa memandang jelas seluruh dataran india utara dan memudahkannya memantau melalui lembah Kabul. Memberinya posisi yang menguntungkan untuk melakukan rangkaian serangan ke sebelah timur. Antara 1001 sampai 1024 Mahmud melakukan tidak kurang dari tujuh belas seranngan ke india yang diantaranya berhasil menduduki wilayah Pujab dan pusat kotanya. Lahore dari penguasa Multan dan Sind. Disana ia berhasil menancapkan pengaruh islam. Dalam sejarah islam, dialah orang pertama yang menerima gelar Al-Ghazi kira-kira tahun 1001. Gelar ini dianugrahkan kepadanya karena keistimewaannya dalam peperangan melawan kaum kafir
Mahmud juga memperluas wilayah kekuasaannya. Ia merebut Irak, Persia, termasuk Rayyi dan Isfahan, dari penguasa buwaihi-syiah, yang ketika itu memegang kendali atas nama Khalifah dibagdad, sebagai seorang Sunni, Mahmud sejak awal masa kejayaannya, mengakui kekuasaan formal khalifah Al-Qadir (991-1031) yang memberinya gelar Yamin Al-Dawlah (tangan kanan negara). Dalam mata uang logamnya, Mahmud dan para penerusnya cukup puas diri dengan mencantumkan gelar Al-Amin (gubernur) atau Sayyid (kepala). Wilayah kekuasaan Mahmud merupakan wilayah yang terluas mencakup India Utara di Timur dan Irak-Persia di barat, juga seluruh daerah Khurasan, Takaristan yang berpusat di Balkh, sebagian Tranxoxiana diutara dan Sijistan di selatan. Dia menghiasi ibu kota nya dengan bangunan-bangunan  megah, mendirikan dan mendanai sebuah akademi besar serta menjadikan istananya yang luas sebagai tempat peristirahatan para penyair dan ilmuan, disana juga, disana juga berkumpul para sastrawan jenius termasuk tokoh sejarawan arab, Al-Utbi, ilmuwan sejarah terkemuka Al-Biruni dan penyair Persia termasuk Firdawsi
Kebangkitan dinasti Ghaznawi merepresentasikan kemenangan pertama orang turki dalam perjuangannya melawan kelompok untuk mecapai kekuasaan tertinggi  dalam islam meski demikian kekuasaan Ghaznawi sama sekali tidak berbeda dengan kekuasaan Samaniyah atau Safariyah. Ghaznawi tidak ditopang kuat oleh angkatan bersenjata, dan tatkala tangan kuat yag mencengkram kuat telah mundur maka semuanya segera menemui kehancuran. Itu pula lah yang terjadi setelah kematian Mahmud. Wilayah-wilayah kekuasaan timur berangsur-angsur memisahkan diri dari ibu kotanya didataran tinggi. Dan muncullah sejumlah dinasti muslim independen di india. Diutara dan barat ada dinasti khan dari tukirstan dan dinasti saljuk dari persi. Keduanya memisahkan diri dari Ghaznawi. Dibagian tengah dinasti Guriyah yang tangguh dari afganistan membrontak dan pada tahun 1986 berhasil menghancurkan pijakan Ghaznawi yang terlahir di Lahore[10]
C.       Kondisi Sosial, Politik, Dan Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur
Sebagian besar dinasti kecil yang tumbuh di Timur adalah keturunan parsi, meskipun secara politik tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan pusat dibagdad, dari segi budaya memberikan corak perkembangan yang baru yaitu kebangkitan kembali nasionalisme dan kejayaan bangsa Iran lama. Masuknya orang-oang iran kedalam elite kekuasaan pada masa Abbasiyah dimulai dari keluarga Al-Barmak, pada masa Harun Ar-Rasyid telah memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan iran baru yang berjiiwa islam. Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah seterusnya. Dinasti kecil ini bagian dari wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah, namun dalam proses pemerintahannya bersifat otonomi penuh, sementara bagi pemerintahan pusat dikota Baghdad, adanya dinasti-dinasti kedil di Timur, bukan saja menguatkan dinasti Abbasiyah itu sendiri, melainkan juga sangat menguntungkan kekuasaan para penguasa Abbasiyah. Apalagi dinasti kecil tersebut satu sama lain saling berebut kekuasaan. Tentu saja, hal ini sangat menguntungkan pemerintahan di Baghdad. Jika muncul pembangkangan, bagi pemerintahan di Baghdad mudah saja, tinggal menggunakan dinasti kecil lainnya agar menyerang dinasti kecil yang membangkakang tersebut. Manfaat adanya dinasti-dinasti kecil ditimur tersebut bukan saja dirasakan oleh dinati Abbasiyah, sebagai penunjang kejaan bani Abbasiyah, melainkan juga bagi dinasti kecil karena dapat terus berusaha memperluas daerah kekuasaan mereka sehingga keutara memasuki jantung asia maupun ke Timur menembus wilayah India. Perluasan wilayah dilihat secara makro sangat menguntungkan dunia islam waktu itu
Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi munculnya dinasti kecil tersebut memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi seperti Samarkand dan Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama dan menjadi transit bagi perdagangan islam dibelahan timur dan menghubungkan rute perdagangan ke Cina, Eropa, dan Tenggara India terutama pada masa dinasti Samani, kota-kota di Khurasan, seperti Marw Hirra, Balk, Naisabur dapat menyaingi Baghdad[11]




BAB III
KESIMPULAN
Disintegrasi dalam kamus bahasa Indonesia yaitu keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan . Masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194 H). Merupakan masa keemasan bani Abbasiyah. Namun, benih-benih disintegrasi sudah mulai terjadi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.) dan kepada puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Khurasan.
Disintegrasi bani abbas dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni; adanya Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri, perebutan kekuasaan dan perang salib sehingga menyebabkan kemunduran dinasti bani abbas Sistem dinasti Abbasiyah yang bersifat desentralisasi, yakni sistem pemerintahan  yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang) seperti kepada dinasti Thahiriyah, Saffawiyah, Samaniyah dan Ghaznawiyah memiliki peran dalam mengurangi urusan-urusan pemerintahan di bagdad dan memperkuat dinasti Baghdad
Dinasti ini Thahir didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia terlahir di desa Munsanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai penglima perang pada masa khalifah Al-Makmum. Ia telah banyak berjasa dalam membantu khalifah Al-Makmum dalam menumbangkan khaklifah Al-Amin dan mendamaikan pembrontakan kaum Alwiyyin di Khurasan
Dinasti safariyah didirikan oleh Ya’kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan orang tunya kelurga ini berasal dari Sijistan
Berdirinya dinasti Samaniyah ini didorong pula oleh masyarakat islam yang waktu itu ingin memerdekakan diri terlepas dari Bagdad, pelopor yang pertama kali memproklamasikan dinasti samaniyah adalah Nash Ibn Ahmad (874 M) cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterin, dan dicetuskan di Transoxiana, kemajuan dinasti ini cukup membanggakan baik dalam bidang filsafat juga politik, pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini ialah Ibn Sina yang pada waktu itu pernah menjadi menteri, dinasti ini juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini karena adanya hubunngan baik antara kepala daerah dan pemerintahan pusat yakni dinasti Abbasiyah
pendiri dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin (976-997) seorang budak dan menantu Al-ptigin. Enam belas raja Ghaznawi yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya. Subugtigin memperluas wilayah kekuasaan hingga meliputi wilayah Pesyawar di India dan khurasan di Persia yang pertama kali ia kuasai ketika masih berada dikekuasaan Samaniyah





DAFTAR PUSTAKA
Bosworth,C.E. The Islamic Dynasties Eidenburgh,Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin Dan Dedi Slamet Riyadi, Cet.1; Jakarta: Serambi Ilmu Setia 2002.
Http://KBBI.Web.Id/Desentralisasi/, Diakses Tanggal 3 Mei 2015
Http://Dilihatya.Com/2058/Pengertian-Desentralisasi-Menurut-Para-Ahli, diakses tanggal 3 Mei 2015
Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ke-3, Kemendikbud, Balai Pustaka
Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta ; Amzah 2013.
Musyrifah, Sunanto.  Sejarah Islam Klasik . Bogor: Kencana, 2003.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradban Islam. Bandung ; Pustaka Setia.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011.
Yatim,Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta; Raja Grafindo Persada 2010.
       




[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ke-3, Kemendikbud, (Balai Pustaka), hlm. 380
[2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011), hlm. 112
[3] Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik (Bogor: Kencana, 2003),  hlm.203
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta; Raja Grafindo Persada 2010),  Hlm. 65-85
[5] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta ; Amzah 2013) Hlm. 156
[6] Http://Kbbi.Web.Id/Desentralisasi/, Diakses Tanggal 3 Mei 2015
[7] Http://Dilihatya.Com/2058/Pengertian-Desentralisasi-Menurut-Para-Ahli, diakses tanggal 3 Mei 2015            
[8]C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, Eidenburgh,. Terj. Ilyas Hasan , (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993), hal 126.
[9]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradban Islam (Bandung ; Pustaka Setia) Hlm. 143-152
[10] Philip K. Hitti. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin Dan Dedi Slamet Riyadi, (Cet.1; Jakarta: Serambi Ilmu Setia 2002), Hlm. 588-591
[11] Dedi Supriyadi, Sejarah, h. 152-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar