DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Matakuliah Studi Peradaban Islam
Dosen Pengampu:
Dr. H. Fadil SJ,M.Ag
oleh
UMI FATMAYANTI
NIM. 14761018
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada
Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan kepada
zaman yang berisi ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya.
Penulis
mengajukan makalah ini guna menyelesaikan tugas mandiri yang diberikan oleh dosen
mata kuliah studi peradaban islam, Dr. H. Fadil SJ,M.Ag dan agar kalangan intelektual
terutama mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin bangsa di masa mendatang dapat memahami Studi peradaban
islam sehingga dapat diajarkan disekolah
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan pihak perpustakaan yang telah meminjamkan
berbagai buku mengenai tema yang penulis angkat sehingga makalah ini dapat penulis
selesaikan pada waktunya.
Penulis
juga mohon maaf kepada semua pihak, apabila masih banyak terdapat kesalahan dalam
penyelesaian makalah ini. Karena penulis juga masih dalam proses belajar dan masih
membutuhkan bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.
Kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Batu, 6 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. I
Daftar Isi........................................................................................................... II
Bab I :Pendahuluan......................................................................................... 1
A. LatarBelakangMasalah......................................................................... 1
B. RumusanMasalah.................................................................................. 1
C. TujuanPenulisan.................................................................................... 2
Bab II :Pembahasan
A. Masa Disintigrasi
Bani Abbas.............................................................. 3
1. Pengertian
Disintegrasi................................................................... 3
2. Penyebab
Disintegrasi Bani Abbasiyah.......................................... 4
3. Sebab-Sebab
Kemunduran Dinasti Abbasiyah............................... 7
4. Akhir Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah.............................................. 9
B. Desentralisasi
Kekuasaan Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan....... 10
1. Pengertian
Desentralisasi................................................................ 10
2. Dinasti Thahiriyah........................................................................... 11
3. Dinasti Saffariyah........................................................................... 13
4. Dinasti Samaniyah.......................................................................... 15
5. Dinasti Ghaznawiyah...................................................................... 16
C. Kondisi Sosial,
Politik, dan Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur. 18
Bab III: Penutup............................................................................................... 20
A. Kesimpulan........................................................................................... 20
Daftar Pustaka.................................................................................................. 22
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakanng Masalah
Pemerintahan dinasti
Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas paman rasulullah SAW sementara pemerintahan
pertama adalah Abdullah Ash-Shaffah Bin Muhammad Bin Ali Bin Abdullah Bin Abbas
Bin Abdul Muthalib. Dinasti bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah,
perkembangan peradaban serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah ditambah lagi kelemahan khalifah
kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula
diangkat oleh khalifah Al-Mu’tasim untuk mengambil kembali pemerintahan.
Pada masa pemerintahan
khalifah Al-Mutawakil orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat
setelah Al-Mutawakil wafat merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah
dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada ditangan bani Abbas meskipun mereka
tetap menjabat sebagai khalifah. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini
hanya empat yang dibunuh, mereka diturunkan denga paksa, setelah tentara turki itu melemah
dengan sendirinya didaerah-daerah muncul
tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari pemerintahan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka
penulis membatasi merumuskan masalah yang akan dibahas yakni;
1. Apakah yang dimaksud dengan Masa disintegrasi
bani Abbas
2. Bagaimanakah Disentralisasi
kekuasaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang meliputi;
·
Dinasti
Thahiriyah,
·
Dinasti
Saffariyah,
·
Dinasti
Samaniyah dan
·
Dinasti
Ghaznawiyah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari masa Disintegrasi bani Abbas
2.
untuk
mengatahui bagaimana disentralisasi kekuasaan dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang meliput;
·
Dinasti
Thahiriyah,
·
Dinasti
Saffariyah,
·
Dinasti
Samaniyah dan
·
Dinasti
Ghaznawiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masa Disintegrasi Bani Abbas
1.
Pengertian
Disintegrasi
Pengertian Disintegrasi
dalam kamus bahasa Indonesia yaitu keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah
belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan[1].
Masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194 H). merupakan masa
keemasan bani Abbasiyah. Namun, benih-benih disintegrasi sudah mulai
terjadi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-Rasyid telah mewariskan
tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.)
dan kepada puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu
menjabat sebagai gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun Ar-Rasyid, Al-Amin
berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai
penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan
dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun
akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya Al-Amin dan mengklaim khalifah
pada tahun 813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan
kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi
lainnya.
Pada masa kekhalifaan Al-Ma’mun
(198-218 H./813-833 M.) juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan
munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan
guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena
membantu merebut kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan
kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada
keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah
tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah
persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur besar[2]
2.
Penyebab
Disintgrasi Bani Abbasiyah (1000-1250 M)
a. Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri
Dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad dikarenakan
adanya kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti.
Alasanya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka
tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi[3].
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan bagdad pada masa
dinasti abbasiyah diantaranya ;
Yang berbangsa Persia
·
Thahiriyah
di khurasan (205-209 H / 820-872 M)
·
Shafariyah
difars (254-290 H / 868-901 M)
·
Samaniyah
di transoxania (261-389 H / 873-998 M)
·
Sajiyah
di Azerbaijan (266-318 H /878-930 M)
·
Buwaihiyyah,
bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H / 932-1055 M)
Yang berbangsa Turki
·
Thuluniyah
di mesir (254-292 H / 837-903 M)
·
Ikhsyidiyah
di turkirstan (320-560 H / 932-1163 M)
·
Ghaznawiyah
di afganistan (351-585 H/ 962-1189 M)
·
Dinasti
saljuk dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa kurdi
·
Al-barzuqani
(348-406 H / 959-1015 M)
·
Abu
ali (380-489 H /990-1095 M)
·
Ayubiyah
(564-648 H / 1167-1250 M)
Yang berbangsa arab
·
Idrisiyah
dimarokko ( 172-375 H / 788-985 M)
·
Aghlabiyyah
ditunisia (184-289 H / 800-900 M)
·
Dulafiyah
di Kurdistan (210-285 H / 825-898 M)
·
Alawiyah
di tabaristan (250-316 H /864-928 M)
·
Hamdaniyah
di Aleppo dan mausil (317-394 H / 929-1002 M)
·
Mazyadiyyah
di hillah (403-545 H /1011-1150 M )
·
Ukailiyyah
di maushil (386-489 H / 996-1095 M )
·
Mirdasiyyah
di Aleppo (414-472 H / 1023-1079 M)
Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
·
Umawiyah
di spayol
·
Fatimiyah
di mesir
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu tampak jelas
antara persaingan antar bangsa, terutama antara arab, Persia dan turki.
Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti dinasti itu juga dilatar belakangi
paham keagamaan, faktor lain juga yang menyebabkan daerah yang memerdekakan
diri adalah:
·
Luasnya
wilayah kekuasaan dinsati abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukann bersamaan dengan itu tingkat saling kepercayaan dikalangan
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah
·
Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi
·
Keuangan
Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentra sangat tinggi
b. Perebutan Kekuasaan Dipusat Pemerintahan
Perebutan kekuasaan terlihat pada periode ke dua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya tidak ada usaha untuk merebut
jabatan khalifah dari tangan bani Abbas yang ada hanyalah usaha untuk merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di pegang bani abbas.
Sedangkan kekuasaan dapat didirikan dipusat
maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti
kecil yang merdeka. Tentara turki berhasil merebut kekuasaan mereka. Ditangan
mereka khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik
mereka. Pada periode kedua dan ketiga daulat abbasiyah berada dibawah kekuasaan
bani buwaih, kemudian dinasti ini jatuh ketangan Seljuk
c. Perang Salib
Dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arsenal adalah peristiwa manzikart (tahun 464 H) tentara ini
berjumlah 15000 berhasil mengalahkan tentara romawi yang berjumlah 200.000 orang
terdiri dari tentara romawi, ghuz, al-akraj, al-hajr, perancis dan Armenia.
Peristiwa besar ini menanamkan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat
islam. Perang ini terjadi dalam tiga periode yaitu periode pertama
terjadi pada musim semi tahun 1095 M orang eropa sebagan besar bangsa perancis
dan norman berangkat menuju konstatinopel, kemudian ke palestina, tentara salib
yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemind, dan Reymond mereka berhasil memperoleh
kemenangan, periode kedua, Imanuddin Zanki penguasa moshul dan irak
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa tahun 1144 dan
digantikan putranya Nuruddin Zanki yang berhasil merebut antiochea, jatuhnya
Edessa menyebabkan orang-orang Kristen mongorbankan perang salib kedua, periode
ketiga dipimpin oleh raja jerman, Frederick. Walaupun umat islam
berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib namun kerugian yang
mereka derita banyak sekai yang kemudian mengakibatkan politik umat islam
melemah dan mereka malah terpecaha belah
3.
Sebab-Sebab
Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
a. Faktor-Faktor Internal
i.
Persaingan Antar Bangsa
khilafah Abbasiyah
didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang Persia. Persekutuan
dilatar belakangi oleh kedua nasib yang sama pada masa dinasti umayyah berkuasa,
kedua sama-sama tertindas, setelah abbasiyah berdiri, abbasiyah tetap mempertahankan
persekutuan, abbasyah memilih orang-orang persia dari pada arab dikarenakan
sulitnya orang-orang arab melupakan bani umayyah dan orang arab sendiri
terpecah belah. Meskipun demikian orang-orang Persia tidak merasa puas mereka
menginginkan raja dan pegawai dari Persia pula selain itu orang arab menganggap
darah (ras) mereka istimewa sehinngga memandang rendah orang non arab, selain itu
wilayah kekuasaan abbasiyah sangat luas seperti maroko, mesir, Persia, irak
turki dan india mereka disatukan oleh bangsa semit, akibat adanya fanatisme
kearaban sehingga muncul fanatisme lain yang melahirkan gerakan su’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan
ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa, sementara khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak Persia
atau turki dijadikan pegawai dan tentara mereka diberi nasab dinasti dan diberi
gaji. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah abbasiyah berdiri akan tetapi karena para
khalifah orang-orang yang kuat mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas
politik dapat terjaga, setelah Al-Mutawakil dominasi tentara turki tak terbendung
lagi, kekuasaan dinasti Abbasiyah sebenarnya sudah berakhir kekuasaan berada
ditangan orang-orang turki, posisi ini kemudian direbut bani Buwaih, bangsa
Persia pada periode ketiga dan dilanjutkan oleh dinasti Saljuk pada periode
keempat
ii.
Kemerosotan
Ekonomi
Setelah khalifah memasuki periode kemunduran
pendapatan negara menurun bersamaan dengan kemunduran politik yang disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
menggangggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, banyak dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan khalifah dan pejabat yang
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan pejabat melakukan korupsi.
iii.
Konflik
Keagamaan
Fanatisme keagamaan
berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan, kekecewaan oranng-orang persia
mendorong sebagian mereka mempropogandakan ajaran manuisme, zorasterisme
dan mazdakisme, munculnya gerkan zindiq menggoda rasa keimanan
para khalifah. Al-Mahdi mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi gerakan
orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas
bidah. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq terus
berlanjut mulai dari konflik yang sederhana sampai konflik yang menumpahkan
darah .
Pada saat gerakan ini
tersudut pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran syiah, sehingga banyak
aliran syiah yang dianggap ekstrim dan menyimpang. Aliran syiah memang dikenal
sebagi aliran politik dalam islam yang berhadapan dengan paham ahlu sunnah,
antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa, Al-Mutawakil
misalnya memerintahkan agar makam Husain dikarbela dihancurkan namun anaknya Al-Muntashir
kembali memperkenankan orang syiah menziarahi makam husaein. Konflik yang
dilatar belakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq
atau ahlu sunnah dan syiah akan tetapi juga antar aliran dalam islam .
mu’tazilah yang cendrung rasional dituduh sebagi pembuat bid’ah oleh golongan
salaf. Perselisihan dipertajam oleh khalifah ketujuh dinasti abbasiyah dengan
menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi namun pada masa dinasti Seljuk yang
menyangkut aliran As’ariyah, penyingkiran golongan mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Pemikiran pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak
menguntungkan bagi pengembang kreativitas intelektual, konon sampai sekarang
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah bani abbasiyah lemah dan akhirnya hancur antara lain;
pertama perang salib yang terjadi beberapa periode, kedua; serangan tentara mongol
yang menyerang wilayah kekuasaan islam[4]
4.
Akhir
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan
dinasti abbasiyah ialah ketika bagdad dihancurkan oleh pasukan mongol yang
dipimin oleh Hulagu Khan, 656 h/1258 M. hulagukhan adalah seorang saudara Kubilay
Khan yang berkuasa dicina hingga asia tenggara, dan saudara Mongke Khan yang
menugaskan untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari cina
kepangkuannya. Bagdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah. khilafah
bani abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh,
buku-buku yang terkumpul di baitul hikmah dibakar dan dibuang ke sungai tigris sehingga
berubalah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam karena lunturan tinta
yang ada pada buku-buku itu. Dengan demikian lenyaplah dinasti Abbasiyah yang
telah memainkan peran penting dan percaturan kebudayaan dan peradaban islam
dengan gemilang[5]
B. Desentralisasi
Kekuasaan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Desentralisasi
Menurut KBBI desentralisasi;
// déséntralisasi/ 1 sistem pemerintahan
yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah; 2
penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang)[6].
sedangkan menurut para ahli
Menurut Smith, desentralisasi
adalah pengalihan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal, dari
tingkat atas ke tingkah yang lebih rendah dalam hierarki territorial.
Menurut Bambang
Yudoyono, desentralisasi adalah pembagian kekuasaan pemerintahan kepada
pemerintah daerah dengan bentuk dan kadar yang tampak dan sesuai dengan
undang-undang yang mengaturnya.
Menurut Vincent Ostrom,
desentralisasi adalah mendekatkan negara kepada masyarakat sehingga
tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun
implementasi kebijakan.
Menurut PBB (Persatuan
Bangsa-Bangsa), desentralisasi adalah pemindahan kekuasaan dari pemerintahan
pusat pada pejabat wilayah maupun melalui devolusi pada badan otonom daerah.
Dari pengertian desentralisasi
menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi bisa
mendatangkan manfaat-manfaat dalam tugas pemerintahan dan pembangunan. Manfaat-manfaat
yang dimaksud adalah; (1) efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas
pemerintah, (2) kemungkinan melakukan inovasi, dan (3) meningkatkan motivasi,
moral, komitmen, dan produktivitas. Semua manfaat tersebut tentunya tidak dapat
dirasakan secara maksimal bila perencanaan strategi masih belum matang dan
belum mampu diterapkan dengan maksimal oleh pemerintah.[7]
2.
Dinasti
Thahiriyah (200-259 H / 820-872)
Dinasti ini didirikan
oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia terlahir
di desa Munsanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai penglima perang pada masa
khalifah Al-Makmum. Ia telah banyak berjasa dalam membantu khalifah Al-Makmum dalam
menumbangkan khaklifah Al-Amin dan mendamaikan pembrontakan kaum Alwiyyin di
Khurasan. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid
meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan
al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup
besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui
kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai
bentuk penghargaan atas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain
atau Dzul Yaminayn , bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan
tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu,
Thahir juga memperoleh kepercayaan untuk menjadi gubernur di kawasan Timur
Bagdad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai pusat pemerintahannya. Tawaran dan
jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karier politik
pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum
memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad.
Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan
Bagdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap
kesempatan dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal
yang independen dari pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu
meninggal pada 207 H, setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur
(205-207 H). Meskipun begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan
kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut.
Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya
bernama Thalhah ibn Thahir.[8]
Pada mulanya Al-Makmum
memberikan kesepatan ke pada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir
pada tahun 205 H. kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur.
Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H menjadikan kota Marw
sebagi tempat kedudukan gubernur, setelah ia wafat jabatan diserahkan kepada
anaknya yaitu Thalah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun sejak tahun
207-213 H, setelah Thalah kekuasaan berpindah ketangan penerusnya Abdullah Ibn
Thahil 213-248 H selama memegang pemerintahan setigkat gubernur dinasti Thahiri
mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan abbasiyah di Bagdad,
bahkan daerah persiapun diserahkan oleh Alma’mun kepada penguasa Abdullah Ibn
Thahil pada tahun 210 H wilayahnya diperluas ssampai kedaerah Suriah dan Jazirah.
Pada tahun 213 Al-Makmum menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada
saudaranya sendiri yakni Abu Shak Ibn Harun Al-Rasyid hal ini dilakuakan
khalifah Al-Makmun setekah ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn Tahahir yang
diketahui ternyata cenderung memihak kepada keturunan Ali Bin Abu Tahlib
Setelah Abdullah Ibn
Tahir jabatan gubernur Khurasan diegang oleh saudaranya yaitu Muhammad Ibn
Thahirb 248-259 H. Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahir. Kemudian
daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Safari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan.
Walaupun beberapa kekuasaan atas wilayah mereka dikurangi oleh khalifah mereka
harus tetap mempertahankan wilayah dengan menjaga hubungan baik dengan khalifah
Abbasiyah dan saling membantu dalam kekuasaan Abbasiyah. Hal ini terbukti ketika Mu-Tashim harus memerangi pemberontakan Al-Maziyar Ibn Qarun dari Tabarrisan.
Abdullah Ibn Thahir turun tangan Menyelesaikan Al-Maziyar. Akan tetapi ketika
dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukkan
perubahan sikap mereka mengalihkan perhatian kepada keluarga Safari yang mulai
menggrogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan. Dalam keadaan
mulai melemah keluarga dan pengikut alawiyyin di Tabaristan menggunakan
kesempatan untuk memunculkan gerakan yang bersamaan dengan gerakan safari yang terus mendesak kukuasaan thabari dari
arah selatan pada tahun 259 H jatuh dan berakhirlah dinasti Thahiri
Para ahli sejarah
mengakui bahwa zaman Thahiri memberikan banyak sumbangan dalam memajukan
ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia islam. Kota Nisabur berhasil
bangkit dan menjadi salah satu pusat perkembangan kebudayaaan dan ilmu
pengetahuan, dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh khalifah Abbasiyah untuk
menjaga ketentraman dan kemajuan dunia islam mereka berhasil menguasai dan
mengamankan wilayah sampai ke Turki yang sultannya telah menyatakan kesetiaan
dan ketaatan sebagai umat islam yang tunduk dibawah kekuasaan khalifah
abbasiyah
3.
Dinasti
Saffariyah
Dinasti safariyah
didirikan oleh Ya’kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Ia
berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan
orang tunya kelurga ini berasal dari Sijistan, selain dia ahli dalam bidang ini
ia juga gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.
menurut Boswort,
sekalipun singkat kelompok saffariyah ini memiliki kekuasaan yang cukup luas
dan megah, Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan pada waktu itu karena
dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu Ya’kub ditunjuk untuk
memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap daulah Abbasiyah dibagian timur
khususnya di Sijistan. Ketika Ya’kub menjadi panglima perang, ia berhasil
mengalahkan pembangkang dalam waktu relatif singkat. Akhirnya ia berjalan
sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat amir di Khurasan,
selanjutnya menguasai kota harat dan busang setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah,
akhirnya ia menjadi pemimpin didaerah itu. Ya’kub juga menaklukkan sisa-sisa
kekuasaan yang pernah dikuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di Khurasan
sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap. Ya’kub berambisi menduduki
kekuasaannya dengan gerakannya yang membabi buta ia melanjutkan gerakannya
sampai Persia, Irak dan Ahwaz. Karena inilah Boswort menyebutkan bahwa dinasti
saffariyah ini luas. Saffariyah dikenal juga dengan pemimpin rakyat jelata, Perilaku
mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen mereka juga tokoh-tokoh radikal.
Khalifah Abbas di Baghdad yang waktu itu dipimpin oleh Mu’tamad menunjukkan
kelemahannya dengan menyerahkan sebagian daerah kekuasaannya meliputi Kurasan,
Tibrasan, Jurjan dan Ar-Ra
Ya’kub menjadi pemimpin
selama 11 tahun setelah ia meningggal pada tahun 878 kepemimpinannya diserahkan
kepada saudaranya Amr Ibn Laits, sikap amir tidak keras bahkan ia telah
mengirimkan surat kepada pemerintahan bagdad yang intinya akan mengikuti semua
petunjuk yang diberikan oleh bagdad pada daerahnya namun ada analisis yang
menyebutkan bagdad melunak terhadap Amr dengan tujuan lebih menenagkan suasana
dan menstabilitas politik karena jika Al-Mu’tammad tidak mendukungnya
dikhawatirkan kelompok Amr ini akan menambah masalah, kekuasaan Amr
dieliminasi, diantaranya daerah khurasan yang dicabut adalah daerah khurasan
dan diberikan kepada Mahmud Bin Thahir. pada saat khaliah bagdad dipegang oleh
Al-Mu’tadid, bagdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan
dari kalangan ulama. Pembesar istana menahan Amr kemudian memberikan kekuasaan
kepada cucunya Thahir Ibn Muhamad Ibn Amr, setelah Thahir kekuasaannya
diberikan kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini
berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits., pada saat
inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat dinasti saffariyah.
4.
Dinasti
Samaniyah (875-1004 M)
Berdirinya dinasti ini
bermula dari pengangkatan empat orang cucu saman oleh khalifah Al-Makmun menjadi
gubernur didaerah Samarkand, Pirgahana, Shash dan Harat yang ada dibawah
pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Akan tetapi ternyata selain mempunyai
hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat
cucu tersebut juga mendapat simpati warga Persia, iran. Awalnya simpati mereka
hanya dikota-kota kekuasaannya kemudian menyebar keseluruh negeri iran termasuk
Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, Tabanistan dan daerah Tranxosiana dikhurasan
Berdirinya dinasti Samaniyah
ini didorong pula oleh masyarakat islam yang waktu itu ingin memerdekakan diri
terlepas dari Bagdad, pelopor yang pertama kali memproklamasikan dinasti
samaniyah adalah Nash Ibn Ahmad (874 M) cucu tertua dari keturunan Samaniyah,
bangsawan Balk Zoroasterin, dan dicetuskan di Transoxiana, kemajuan dinasti ini
cukup membanggakan baik dalam bidang filsafat juga politik, pelopor yang sangat
berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini ialah Ibn Sina
yang pada waktu itu pernah menjadi menteri, dinasti ini juga mampu meningkatkan
perekonomian masyarakat. Hal ini karena adanya hubunngan baik antara kepala
daerah dan pemerintahan pusat yakni dinasti Abbasiyah
Setelah mencapai puncak
kegemilangannya semangat fanatik kesukuan pun cukup tinggi oleh karena itu
ketika banyak imigran turki yang banyak menduduki posisi dipemerintahan serta
merta para imigran turki dicopot karena faktor kesukuan. Akibat ulahnya ini, dinasti Samaniyah
mengalami kehancuran, karena mendapat penyerangan dari bangsa turki. Dengan
keruntuhannya ini, tumbuh dinasti kecil baru, yaitu dinasti Al-Ghaznawi yang
terletak di india dan turki. Dinasti samaniyah juga telah berhasil menciptakan
kota Bukhara sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan ynang terkenal diseluruh
dunia, karena selain Ibn Sina, muncul juga para pujangga da ilmuwan yang
terkenal, seperti Al-Firdasi, Ummar Kayam, Al-Biruni, dan Zakaria Ar-Razi. selain
kota Bukhara Samaniyah juga berhasil membangun Samarkand hingga mampu
menandingi kota-kota lainnya di dunia islam pada waktu itu. kota, selain
berfungsi sebagai kota ilmu pengetahuan dan budaya, juga telah menjadi kota
perdagangan. Samaniyah telah lenyap, namun perjuangan dan pengorbanannya dalam
mngembangkan islam senantiasa diingat oleh umat islam.[9]
5.
Dinasti
Ghaznawiyah
Selain persoalan biasa
yang muncul dari pergolakan aristrokrasi militer dan situasi sulit yang
menyangkut suseksi pemerintahan, muncul juga ancaman baru, yakni para
pengembara Turki yang bergerak menuju utara. Bahkan didalam Negara sendiri
kekuasaan berangsur-angsur diambil oleh budak-budak turki, yang justru
merupakan golongan yang sering diadili oleh penguasa Samaniyah, sebelah selatan
Oxus, perlahan-lahan dicaplok oleh dinasti Ghaznawi yang berkuasa dibawah
pimpinan salah satu budak Turki. Salah seorang budak Turki yang disukai dan
dihargai oleh penguasa samaniyah serta dianugrahi pos penting dalam
pemerintahan adalah Al-Ptigin, yang melalui kariernya sebagai pengawal dan pada
961 dipromosikan menjadi gubernur khurasan. Tetapi segera setelah itu ia tidak
lagi disukai oleh penguasa samaniyah yang baru, hingga akhirnya ia pergi menuju
daerah perbatasan sebelah kiri timur kerajaan. Pada tahun 962 dia merebut
Ghaznah terletak di Afganistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan
sebuah kerajaan independen yang kemudian berkembang menjadi iperium Ghaznawi yang wilayahnya meliputi Afganistan dan
Punjab (962-11186). Tetapi pendiri dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin
(976-997) seorang budak dan menantu Al-ptigin. Enam belas raja Ghaznawi yang
kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya. Subugtigin
memperluas wilayah kekuasaan hingga meliputi wilayah Pesyawar di India dan Khurasan
di Persia yang pertama kali ia kuasai ketika masih berada dikekuasaan Samaniyah
Raja paling terkemuka
dari dinasti ini adalah Subuktigin, Mahmud (999-1030). Ibu kota Negara Ghaznah
berada dipuncak sebuah bukit tinggi yang dari situ ia bisa memandang jelas
seluruh dataran india utara dan memudahkannya memantau melalui lembah Kabul.
Memberinya posisi yang menguntungkan untuk melakukan rangkaian serangan ke
sebelah timur. Antara 1001 sampai 1024 Mahmud melakukan tidak kurang dari tujuh
belas seranngan ke india yang diantaranya berhasil menduduki wilayah Pujab dan
pusat kotanya. Lahore dari penguasa Multan dan Sind. Disana ia berhasil
menancapkan pengaruh islam. Dalam sejarah islam, dialah orang pertama yang
menerima gelar Al-Ghazi kira-kira tahun 1001. Gelar ini dianugrahkan kepadanya
karena keistimewaannya dalam peperangan melawan kaum kafir
Mahmud juga memperluas
wilayah kekuasaannya. Ia merebut Irak, Persia, termasuk Rayyi dan Isfahan, dari
penguasa buwaihi-syiah, yang ketika itu memegang kendali atas nama Khalifah
dibagdad, sebagai seorang Sunni, Mahmud sejak awal masa kejayaannya, mengakui
kekuasaan formal khalifah Al-Qadir (991-1031) yang memberinya gelar Yamin
Al-Dawlah (tangan kanan negara). Dalam mata uang logamnya, Mahmud dan para
penerusnya cukup puas diri dengan mencantumkan gelar Al-Amin (gubernur) atau Sayyid
(kepala). Wilayah kekuasaan Mahmud merupakan wilayah yang terluas mencakup
India Utara di Timur dan Irak-Persia di barat, juga seluruh daerah Khurasan,
Takaristan yang berpusat di Balkh, sebagian Tranxoxiana diutara dan Sijistan di
selatan. Dia menghiasi ibu kota nya dengan bangunan-bangunan megah, mendirikan dan mendanai sebuah akademi
besar serta menjadikan istananya yang luas sebagai tempat peristirahatan para penyair
dan ilmuan, disana juga, disana juga berkumpul para sastrawan jenius termasuk
tokoh sejarawan arab, Al-Utbi, ilmuwan sejarah terkemuka Al-Biruni dan penyair
Persia termasuk Firdawsi
Kebangkitan dinasti Ghaznawi
merepresentasikan kemenangan pertama orang turki dalam perjuangannya melawan
kelompok untuk mecapai kekuasaan tertinggi
dalam islam meski demikian kekuasaan Ghaznawi sama sekali tidak berbeda
dengan kekuasaan Samaniyah atau Safariyah. Ghaznawi tidak ditopang kuat oleh
angkatan bersenjata, dan tatkala tangan kuat yag mencengkram kuat telah mundur
maka semuanya segera menemui kehancuran. Itu pula lah yang terjadi setelah
kematian Mahmud. Wilayah-wilayah kekuasaan timur berangsur-angsur memisahkan
diri dari ibu kotanya didataran tinggi. Dan muncullah sejumlah dinasti muslim
independen di india. Diutara dan barat ada dinasti khan dari tukirstan dan
dinasti saljuk dari persi. Keduanya memisahkan diri dari Ghaznawi. Dibagian
tengah dinasti Guriyah yang tangguh dari afganistan membrontak dan pada tahun
1986 berhasil menghancurkan pijakan Ghaznawi yang terlahir di Lahore[10]
C. Kondisi Sosial, Politik, Dan Ekonomi
Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur
Sebagian besar dinasti
kecil yang tumbuh di Timur adalah keturunan parsi, meskipun secara politik
tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan pusat dibagdad, dari segi budaya
memberikan corak perkembangan yang baru yaitu kebangkitan kembali nasionalisme
dan kejayaan bangsa Iran lama. Masuknya orang-oang iran kedalam elite kekuasaan
pada masa Abbasiyah dimulai dari keluarga Al-Barmak, pada masa Harun Ar-Rasyid
telah memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan iran
baru yang berjiiwa islam. Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah
seterusnya. Dinasti kecil ini bagian dari wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah,
namun dalam proses pemerintahannya bersifat otonomi penuh, sementara bagi
pemerintahan pusat dikota Baghdad, adanya dinasti-dinasti kedil di Timur, bukan
saja menguatkan dinasti Abbasiyah itu sendiri, melainkan juga sangat menguntungkan
kekuasaan para penguasa Abbasiyah. Apalagi dinasti kecil tersebut satu sama
lain saling berebut kekuasaan. Tentu saja, hal ini sangat menguntungkan
pemerintahan di Baghdad. Jika muncul pembangkangan, bagi pemerintahan di Baghdad
mudah saja, tinggal menggunakan dinasti kecil lainnya agar menyerang dinasti
kecil yang membangkakang tersebut. Manfaat adanya dinasti-dinasti kecil ditimur
tersebut bukan saja dirasakan oleh dinati Abbasiyah, sebagai penunjang kejaan
bani Abbasiyah, melainkan juga bagi dinasti kecil karena dapat terus berusaha
memperluas daerah kekuasaan mereka sehingga keutara memasuki jantung asia
maupun ke Timur menembus wilayah India. Perluasan wilayah dilihat secara makro
sangat menguntungkan dunia islam waktu itu
Dilihat dari
perkembangan sosial ekonomi munculnya dinasti kecil tersebut memunculkan
kota-kota pusat kegiatan ekonomi seperti Samarkand dan Bukhara yang menjadi
kota perdagangan utama dan menjadi transit bagi perdagangan islam dibelahan
timur dan menghubungkan rute perdagangan ke Cina, Eropa, dan Tenggara India
terutama pada masa dinasti Samani, kota-kota di Khurasan, seperti Marw Hirra,
Balk, Naisabur dapat menyaingi Baghdad[11]
BAB
III
KESIMPULAN
Disintegrasi
dalam kamus bahasa Indonesia yaitu keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah
belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan . Masa pemerintahan Harun
Ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194 H). Merupakan masa keemasan bani Abbasiyah.
Namun, benih-benih disintegrasi sudah mulai terjadi tepatnya pada saat
penurunan tahta. Harun Ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan pada putra
tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.) dan kepada puteranya yang
lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur
Khurasan.
Disintegrasi bani abbas
dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni; adanya Dinasti-Dinasti Yang
Memerdekakan Diri, perebutan kekuasaan dan perang salib sehingga menyebabkan kemunduran dinasti bani
abbas Sistem dinasti Abbasiyah yang bersifat desentralisasi, yakni sistem
pemerintahan yang lebih banyak
memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, penyerahan sebagian wewenang
pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang) seperti kepada dinasti
Thahiriyah, Saffawiyah, Samaniyah dan Ghaznawiyah memiliki peran dalam
mengurangi urusan-urusan pemerintahan di bagdad dan memperkuat dinasti Baghdad
Dinasti ini Thahir didirikan
oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia terlahir
di desa Munsanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai penglima perang pada masa
khalifah Al-Makmum. Ia telah banyak berjasa dalam membantu khalifah Al-Makmum
dalam menumbangkan khaklifah Al-Amin dan mendamaikan pembrontakan kaum Alwiyyin
di Khurasan
Dinasti safariyah
didirikan oleh Ya’kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Ia
berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan
orang tunya kelurga ini berasal dari Sijistan
Berdirinya dinasti
Samaniyah ini didorong pula oleh masyarakat islam yang waktu itu ingin
memerdekakan diri terlepas dari Bagdad, pelopor yang pertama kali
memproklamasikan dinasti samaniyah adalah Nash Ibn Ahmad (874 M) cucu tertua
dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterin, dan dicetuskan di
Transoxiana, kemajuan dinasti ini cukup membanggakan baik dalam bidang filsafat
juga politik, pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan pada dinasti ini ialah Ibn Sina yang pada waktu itu pernah menjadi
menteri, dinasti ini juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini
karena adanya hubunngan baik antara kepala daerah dan pemerintahan pusat yakni
dinasti Abbasiyah
pendiri dinasti
Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin (976-997) seorang budak dan
menantu Al-ptigin. Enam belas raja Ghaznawi yang kemudian menggantikannya
adalah keturunan langsung darinya. Subugtigin memperluas wilayah kekuasaan
hingga meliputi wilayah Pesyawar di India dan khurasan di Persia yang pertama
kali ia kuasai ketika masih berada dikekuasaan Samaniyah
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth,C.E.
The Islamic Dynasties Eidenburgh,Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan
anggota IKAPI, 1993.
Hitti,
Philip K. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin Dan Dedi Slamet
Riyadi, Cet.1; Jakarta: Serambi Ilmu Setia 2002.
Http://KBBI.Web.Id/Desentralisasi/,
Diakses Tanggal 3 Mei 2015
Http://Dilihatya.Com/2058/Pengertian-Desentralisasi-Menurut-Para-Ahli,
diakses tanggal 3 Mei 2015
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ke-3,
Kemendikbud, Balai Pustaka
Munir,
Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta ; Amzah 2013.
Musyrifah,
Sunanto. Sejarah Islam Klasik . Bogor:
Kencana, 2003.
Supriyadi,
Dedi. Sejarah Peradban Islam. Bandung ; Pustaka Setia.
Syukur,
Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011.
Yatim,Badri.
Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta; Raja Grafindo Persada 2010.
[2] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011), hlm. 112
[3] Sunanto Musyrifah, Sejarah
Islam Klasik (Bogor: Kencana, 2003),
hlm.203
[4] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta; Raja
Grafindo Persada 2010), Hlm. 65-85
[5] Samsul Munir, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta ; Amzah 2013) Hlm. 156
[7] Http://Dilihatya.Com/2058/Pengertian-Desentralisasi-Menurut-Para-Ahli, diakses tanggal 3 Mei
2015
[8]C.E. Bosworth, The Islamic
Dynasties, Eidenburgh,. Terj. Ilyas Hasan , (Bandung: Mizan anggota
IKAPI, 1993), hal 126.
[9]Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradban Islam (Bandung ; Pustaka Setia) Hlm. 143-152
[10] Philip
K. Hitti. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin Dan Dedi
Slamet Riyadi, (Cet.1; Jakarta: Serambi Ilmu Setia 2002), Hlm. 588-591
Tidak ada komentar:
Posting Komentar