Minggu, 11 Februari 2018

perbedaan konsep social studies dan socsial science

    

1.      Jelaskan perbedaan konsep social studies dan socsial science
Jawab:
Mulyono Tj. memberi batasan IPS bahwa IPS sebagai pendekatan  interdisipliner (Inter-disciplinary approach) (antar cabang ilmu pengetahuan) dari pelajaran Ilmu-ilmu sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya[1]
IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti geografi, ekonomi, sejarah, antropologi, dan politik. Mata pelajaran tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama, oleh karena itu dipadukan menjadi satu bidang studi yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)[2]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan sosial studies yakni IPS adalah fusi dari disiplin ilmu-ilmu sosial. Pengertian fusi di sini berarti bahwa IPS merupakan suatu bidang studi utuh yang tidak terpisah-pisah dalam kotak-kotak disiplin ilmu yang ada. Artinya, bahwa bidang studi IPS tidak lagi mengenal adanya pelajaran geografi, ekonomi, sejarah secara terpisah, melainkan semua disiplin tersebut diajarkan secara terpadu. Dengan pendekatan tersebut batas disiplin ilmu menjadi lebur, artinya terjadi sintesis antara beberapa disiplin ilmu. Sedangkan sosial science merupakan disiplin ilmu Sosial yang dikaji dan dikembangkan secara ontologis, epistimologis dan aksiologis diperguruan tinggi baik pada jenjang S1, S2 maupun S3.
Perbedaan berikutnya antara Ilmu sosial dan studi sosial adalah tempat diajarkan dan dipelajarinya. Jika, sedangkan studi sosial diajarkan dan dipelajari sejak dari pendidikan rendah SD sampai SMA. Artinya, kalau ilmu sosial lebih menitik beratkan kepada teori dan konsep keilmuannya, maka studi sosial lebih menitik beratkan pada masalah-masalah yang dapat dibahas dengan meninjau berbagai sudut yang ada hubungannya satu sama lain


 

Analisis tafsir Al-Misbah surah Al-Maidah ayat 51-56

       

Penulis : Umi Fatmayanti 

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Kalam Ilahi yang merupakan ayat-ayat Allah, yang juga sangat memesonakan, itu mengakibatkan sebagian kita hanya berhenti dalam pesona bacaan ketika ia dilantunkan, seakan-akan kitab ini hanya diturunkan untuk dibaca. Memang, wahyu pertama adalah iqra’ di ulanginya dua kali. Akan tetapi kata ini bukan sekedar perintah membaca dalam pengertiannya yang sempit, melainkan juga mengandung makana “teletilah, dalamilah” karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat meraih sebanyak mungkin kebahagiaan.
Bacaan hendaknya disertai dengan dengan kesadaran akan keagungan Al-Quran, pemahaman dan penghayatan disertai dengan tadzakur dan tadabbur. Sungguh aneh jika ada orang yang berdecak kagum dengan mendengar bacaan seorang Qari, berseru dengan “Allah... Allah” bergembira dan senyum simpul menghiasi bibirnya, padahal yang dibaca sang Qari adalah ayat ancaman. Itulah salah satu contoh mereka yang terpesona olah bacaan. Al-Quran mengecam mereka. mereka yang tidak menggunakan akal dan Qalbunya untuk berpikir dan menghayati Al-Quran
Tafsir Quraish Shihab merupakan tafsir kontemporer yang menampilkan keindahan bahasa yang khas, menggunakan metode tafsir maudhui dan tahlili berdasarkan sumber penafsiran yang dapat dikelompokan pada jenis tafsir bi al-Ra’yi. Dan cenderung bercorak adabi al-ijtimai.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut maka pembahasan ini dikhususkan kepada pendekatan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Manar

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui isi pendekatan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah

BAB II
DESKRIPTIF
A.    Biografi Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. lahir di  Rappang, sulawesi selatan, pada 16 februari 1944. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, beliau berasal dari keturunan arab terpelajar , shihab merupakan nama keluarga ayahya seperti lazimnya yang digunakan diwilayah timur. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar. Abdurrahman Shihab merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan keilmuannya kelak. Ayahnya seorang guru besar di bidang tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin ujung pandang dan juga sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) ujung pandang.[1]
Menurut M. Quraish Shihab sejak 6-7 tahun ia sudah diharuskan untuk mendengar ayahnya mengajar Al-Quran, dalam kondisi sepeti itu, kecintaan seorang ayah terhadap ilmu yang merupakan sumber motivasi bagi dirinya terhadap studi Al-Quran. Disamping ayahnya, peran seorang ibu tidak kalah pentingnya dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk giat belajar terutama masalah agama. Dorongan inilah yang menjadi motivasi ketekunan dalam menuntut ilmu agama sampai membentuk kepribadian yang kuat terhadap basis keislaman.[2]
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, beliau melanjutkan pendidikan menegahnya di malang, sambil nyantri di pondok pesantren Darul-Hadith Al-Faqihiyyah. Pada 1958 ia berangkat  ke Kairo, Mesir, dan diterima dikelas tsanawiyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar lc (s-1), pada fakultas ushuluddin jurusan tafsir dan hadith universitas Al-azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama
pakar tafsir ini meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Quran di universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada 1969 dengan tesis berjudul Al-Ijaz Al-Tasyri’iy Lil Al-Quran Al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alaudin Ujung Pandang. Selain itu dia juga diserahin jabatan-jabatan lain, baik didalam kampus seperti koordinator perguruan tinggi swasta (wilayah VI bagian Indonesia timur), maupun diluar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia timur dalam bidang pembinaan mental, selama di Ujung Pandang dia juga melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema “ penerapan kerukunan hidup baragama di Indonesia timur (1975) dan masalah wakaf sulawesi selatan” (1978).
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya dialmamater yang lama, universitas Al Adzhar Pada 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium summa cum laude disertai penghargaan tingkat pertama di universitas yang sama dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Lil Baqa’iy, Tahqiq Wa Dirasah.
Sekembalinya ke Indonesia sejak 1984 Quraish Shihab ditugaskan di fakultas ushuluddin dan fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, selain itu, diluar kampus ia juga di percaya menduduki berbagai jabatan antara lain; ketua majelis ulama Indonesia (pusat), 1985-1998; anggota lajnah pentashih Al-Quran depatermen agama sejak 1989, anggota badan pertimbangan pendidikan nasiona (sejak 1989) dan ketua lembaga pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain pengurus penghimpunan ilmu-ilmu syariah, pengurus konsorsium ilmu-ilmu agama departemen pendidikan dan kebudayaan dan asisten ketua umum ikatan cendekiawan muslim Indonesia (icmi). Disela-sela kesibukannya beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Yang tak kalah pentingnya beliau juga atkif dalam kegiatan tulis menulis disurat kabar pelita, setiap hari rabu dia menulis dalam rubik pelita hati. Beliau juga mengasuh rubik tafsir al-amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di jakarta, selain itu beliau juga tercatat sebagai anggota dewan redaksi majalah ulumul quran dan mimbar ulama keduanya terbit dijakarta.[3]
Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi rektor IAIN syarif  hidayahtullah jakarta pada 1992-1998. Kiprahnya tak terbatas dilapangan akademis, beliau menjabat sebagai MPR-RI 1982-1987 dan 1987-2002; dan pada 1998, dipercaya menjadi menteri agama RI.[4]

B.     Karya-karya Quraish Shihab
Quraish Shihab dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Karya-karya beliau yang berhasil di himpun penulis antara lain:
a.       Membumikan Al-Quran diterbitkan oleh mizan bulan mei tahun 1992
b.      Secarah cahaya ilahi diterbitkan oleh mizan bulan September tahun 2007
c.       Wawasan Al-Quran diterbitkan oleh mizan tahun bulan Agustus 2007
d.      Pengantin Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati bulan Maret tahun 2007
e.       Mukjizat Al-Quran diterbitkan oleh mizan bulan April tahun 1997
f.       Dia dimana-mana “ tangan tuhan dibalik setiap fenomena diterbitkan oleh lentera hati bulan Juli tahun 2004
g.      Jilbab diterbitkan oleh lentera hati bulan Juli 2004
h.      Fatwa-fatwa seputar wawasan agama diterbitkan oleh mizan bulan Desember tahun 1999
i.        Rasionalitas Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati bulan April tahun 2006
j.        Menjawab 1001 soal keislaman yang patut diketahui diterbitkan oleh mizan bulan Desember tahun 1997
k.      Tafsir Al-Misbah pesan, kesan dan keserasian Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati
l.        Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an diterbitkan oleh Lentera Hati Jakarta 1998
m.    Untaian Permata Buat Anakku diterbitkan oleh Mizan, 1998
n.      Haji Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1999
o.      Sahur Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan 1999
p.      Panduan Puasa bersama Quraish Shihab, Jakarta: Penerbit Republika,
November 2000
q.      Panduan Shalat bersama Quraish Shihab, Jakarta: Penerbit Republika,
September 2003
r.        Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-Qur’an AsSunah Jakarta: Lentera Hati, 2006
C.    Tafsir Al-Misbah
Tafsir Al-Misbah pertama kali dicetak pada tahun 2001 terdiri dari volume satu sampai tiga belas kemudian pada tahun 2003 volume 14 sampai 15. Setiap volume terdiri dari satu, dua atau tiga juz. Tafsir Al-Misbah  ditulis dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari 30 juz .
1.      Metode Penelitian Tafsir Al-Misbah
Quraish Shihab dalam menulis tafsir Al-Misbah  menggunakan metode tafsir maudhui dan tahlili. Al-farmawi menjelaskan setidaknya ada dua langkah pokok dalam proses penafsiran secara maudhu’i yakni; mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu maudu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memerhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam perannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan. M. Quraishi shihab dalam tulisannya tafsir Al-Quran masa kini mengemukakan 8 langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode maudhui yakni:
a.       Menetapkan masalah/ judul masalah
b.      Menghimpun menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
c.       Menyusun urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan periode mekah dan madinah
d.      Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.       Melengkapi pembahasan dengan hadith-hadith yang menyangkut masalah tersebut
f.       Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna
g.      Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengompromikan umum dan khusus, yang bersyarat dan yang tanpa syarat atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti
h.      Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Quran terhadap masalah yang dibahas tersebut.[5]
Metode penafsiran tahlili muncul sejak akhir abad II/ awal abad III periode pembukuan tafsir sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.[6] Dalam istilah Dr. Abdul al-farmawi disebut tafsir at-tahlili. Penafsiran ini berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya berdasarkan urutan-urutan ayat dan surah dalam mushaf, menonjolkan pengertian dan kandungan lafadzh-lafadzhnya, hubungan ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadith-hadith nabi saw. Yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu serta pendapat sahabat dan tabi’in atau pendapat para mufassir lainnya. Dengan demikian, ciri-ciri tafsir tahlili dapat dirumuskan sebagai berikut;
a.       Membahas segala sesuatu yang menyangkut satu ayat itu
b.      Tafsir tahlili terbagi sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya seperti, hukum, riwayat dan lain-lain
c.       Pembahasannya disesuaikan menurut urutan ayat
d.      Titik beratnya adalah lafadzhnya
e.       Menunjukkan muhasabah ayat
f.       Menggunakan asbab an nuzul
g.      Mufasir beranjak ke ayat lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun pembehasannya belum selesai karena akan diselesaikan oleh ayat lain
h.      Persoalan yang dibahas belum tuntas.[7]
Metode tahlili di pilih Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah  karena menurut beliau metode maudhui yang sering digunakannya pada karya yang berjudul “membumikan Al-Quran dan wawasan Al-Quran” selain mempunyai keunngulan dalam memperkenalkan konsep Al-Quran tentang tema tertentu  secara utuh. Sebab menurutnya Al-Quran memuat tema yang tidak terbatas, jadi dengan ditetapkan judul pembahasan yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan tersebut. Dengan demikian kendala untuk memahami al-Qur'an secara lebih komprehensip masih tetap ada.[8]
Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
a.               Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
b.              Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
c.               Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
d.              Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadith Nabi yang berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.
Adapun berdasarkan sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir Al-Misbah  dapat dikelompokan pada jenis tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir bi al-Ra’yi adalah menafsirkan melalui pemikiran atau ijtihad, dengan cara menggunakan fenomena sosial yang menjadi latar belakang dan sebab turunya ayat, kemampuan dan pengetahuan kebahasaan, pengertian kealaman dan kemampuan Intelegensia[9]
Ada dua sumber yang digunakan dalam tafsir Al-Misbah : Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir Al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain[10]
Dalam menafsirkan tafsir a-Misbah juga tidak lepas dari jenis tafsir bi al-Ma’sur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, Sunnah Rasullalah SAW, pendapat sahabat ataupun perkataan tabi’in[11]

2.      Corak Tafsir Al-Misbah
Berdasarkan beragam pendekatan yang ditempuh oleh seorang mufasir, Dr. Abdul hay al-farmawi pada tujuh corak salah satunya tafsir adabi ijtima’i. Tafsir Al-Misbah  cenderung bercorak adabi al-ijtimai (bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan). Tokoh utama aliran ini adalah syeikh Muhammad Abduh, dan diikuti oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan kemudian diikuti oleh mufasir-mufasir lain, tampaknya tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh yang kemudian dikenal dengan aliran adabi ijtima’i bertitik tolak dari kerangka berfikir yakni Al-Quran mengandung berbagai dimensi ajaran: akidah, hukum, moral (akhlak), ekonomi, politik, kemasyarakatan, seni, ilmu pengetahuan dan lainnya. Ia berbicara dalam berbagai objek dan realitas. Dengan titik tolak itu, Abduh berusaha menghindari cara penafsiran yang ditempuh oleh penafsiran sebelumnya yang seolah-olah menjdikan Al-Quran terlepas dari akar kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Mereka terhempas dalam pertikaian mazhab-mazhab dan aliran sehingga tidak jarang Al-Quran dipaksa untuk tunduk kepada ide dan pendapat mazhab masing-masing. Akibatnya, ruh dan tujuan Al-Quran menjadi terlantarkan.
Menurut Quraish Shihab tafsir yang berorientasi pada sastra dan kemasyarakatan ialah tafsir yang menitik beratkan  penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksi Al-Quran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan Menonjolkan tujuan utama dari tujuan turunnya Al-Quran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggandengkan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Ada empat hal yang dianggap sebagai ciri pokok dari tafsir adabi-ijtimai yaitu;
a.       Memperhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Quran
b.      Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
c.       Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya Al-Quran
d.      Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat[12]
Corak penafsiran ini ditekankan bukan hanya ke dalam tafsir lughawi, tafsir fiqh, tafsir ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan pada kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat yang kemudian disebut corak tafsir Adabi al-Ijtimā'i. Corak tafsir Al-Misbah  merupakan salah satu yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.[13]

D.    Contoh tafsir Al-Misbah  kelompok VI ayat 51-56 surah Al-Ma’idah
1.      Penjelasan Nama Surah
Nama yang paling populer dari kumpulan ayat-ayat berikut adalah surah Al-Maidah yakni hidangan, karena dalam rangkaian ayat-ayatnya terdapat uraian tentang hidangan yang diturunkan atas permintaan ahl al-kitab (ayat 112-215). Nama lainnya dalah surah-surah Al-Uqub/ akad-akad perjanjian, karena ayat pertama surah ini memerintahkan kaum beriman agar memenuhi ketentuan aneka akad yang dilakukan. Surah ini dinamai juga surah Al-Akhyar / orang-orang baik, karena yang memenuhi tuntunannnya menyangkut ikatan perjanjian pastilah orang baik. Surah ini dinamai juga Al-Munqidzah / penyelamat. Diriwayatkan bahwa Nabi muhammad saw. Bersabda: “ surah Al-Ma’idah dinamai Malakut As-Samawat (kerajaan Allah yang maha tinggi) dengan nama surah Al-Munqidzah, karena ia menyelamatkan pembaca dan pengamal tuntunannya dari malaikat penyiksa.
Al-Biqai berpendapat bahwa tujuan utama dari surah ini mengajak untuk memenuhi tuntunan Ilahi yang termaktud dalam kitab suci yang didukung oleh perjanjian yang dilakukan oleh nalar yakni berkaitan dengan keesaan Allah pencipta, serta berkaitan dengan limpahan rahmad terhadap makhluk, sebagai tanda syukur atas nikmatnya, dan permohonan menolak murkanya. Kisah Al-Maidah yang menjadi latar belakang pemahaman surah ini, merupakan bukti yang sangat jelas tentang tujuan tersebut. Kandungan kisah itu memperingatkan bahwa siapa yang menyimpang sehingga tidak merasakan ketenangan setelah datangnya penjelasan sempurna, maka dia dihadapkan kepada tuntunan pertanggung jawaban serta terancam oleh siksa. Penamaannya dengan surah Al-Uqud merupakan bukti tentang tujuan utama uraian surah itu. Demikian Al-Biqa’i
Seperti telah diuraikan sebelumnya antara lain dalam tafsir surah Al-Fatihah pakar tafsir ini berpendapat bahwa tujuan setiap surah Al-Quran dapat ditentukan melalui nama surah itu.[14] Untuk contoh kelompok VI surah al-ma’idah ayat 51-56 tentang pemimpin secara lebih rinci pembaca dapat merujuk langsung kepada tafsir Al-Misbah volume 3.



BAB III
ANALISIS

A.    Analisis Isi Tafsir Al-Misbah Kelompok VI
Ayat 51-56 dalam surah An-Nisa menjelaskan tentang memilih pemimpin. dalam tafsir Al-Misbah dimulai dengan mengumpulkan tema-tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah pemimpin yakni dalam hal ini dimulai dari ayat 51-56 yang terdapat dalam surah An-Nisa dan di dukung oleh ayat-ayat dalam surah lain yang masih memiliki hubungan dengan tema kepemimpinan seperti  surah Al-Mumtahanah (ayat 1,8, 9), surah Al-Maidah ayat 51, Al-Ahzab ayat 12,  Al-kahfi ayat 23, dan Al- Mujadalah ayat 22,  tafsir ini dilengkapi dengan hadith seperti hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan para muffasir lainnya seperti Thabathabai’i, Muhammad Sayyid Thanthawi, dan Al- Biqa’i  dan terakhir adanya kesimpulan yakni bukan hanya orang-orang Yahudi yang dilarang menjadi auliya’ tetapi juga orang-orang munafik dan mereka yang ada penyakit didalam jiwanya dan sifat orang-orang beriman yang hendaknya dijadikan auliya’ yang terbukti ketulusan iman mereka, mendirikan sholat pada waktunya secara benar dan berkesinambungan menunaikan zakat dengan tulus dan sempurna tunduk kepada Allah dan melaksanakan tuntunannya. wali mutlak hanya Allah, kemudian Rasul dan orang-orang beriman yang pada hakekatnya juga menjadikan Allah sebagai wali metode inilah yang disebut dengan maudhu’i
sedangkan kandunagn lafdazh yang dimuat dalam tafsir ini seperti تتخذوا , أوليا , عسى , فتح  diterjemahkan sesuai dengan peristiwa atau asbabun nuzulnya . seperti kata kata فتح fath/kemenangan dalam Al-Quran pada umumnya menunjuk pada peristiwa kemenangan Rasul saw memasuki dan menguasai kota mekah, walau tidak semua kata fath bermakna demikian. dalam ayat ini boleh jadi yang dimaksud adalah fath makkah boleh jadi juga keberhasilan mengusir Yahudi  yang berkhianat dari kota madinah, atau kemenangan umat terhadap musuh-musuh mereka kapan dan dimana pun. metode inilah yang dinamakan dengan tahlili.
Sedangkan  menurut sumbernya termasuk jenis tafsir bi Al-Ra’yi karena didalam menafsirkan tafsir Al-Misbah menggunakan sumber-sumber rujukan para muffasir lainnya seperti Thabathabai’i, Muhammad Sayyid Thanthawi, dan Al-Biqa’i.
M.Quraish shihab juga menggunakan tafsir bil Al-Ma’sur seperti hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan dari nash seperti surah Al-Mumtahanah ayat (1,8, 9), surah Al-Maidah ayat 51, Al-Ahzab ayat 12, Al-Kahfi ayat 23, dan Al- Mujadalah ayat 22,
Satu diantara kesulitan kita dalam bermasyarakat adalah sulitnya memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang baik hal inilah yang di tonjolkan corak adabi al-ijtimai yang memberikan pesan dari Al-Quran sebagai jawaban permasalahan masyarakat yang tercermin dalam tafsir Al-Misbah pada kelompok VI ialah sifat orang-orang beriman yang hendaknya dijadikan auliya’ yang terbukti ketulusan iman mereka, mendirikan sholat pada waktunya secara benar dan berkesinambungan menunaikan zakat dengan tulus dan sempurna tunduk kepada Allah dan melaksanakan tuntunannya inilah yang harus digali dari makna-makna dan rahasia Al-Quran yang bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi al-ijtimai).






BAB IV
Penutup
Quraish Shihab dalam menulis tafsir Al-Misbah  menggunakan metode tafsir maudhui yakni; mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu maudu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memerhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam perannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan selain itu juga beliau menggunakan metode tafsir at-tahlili. Penafsiran ini berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya berdasarkan urutan-urutan ayat dan surah dalam mushaf, menonjolkan pengertian dan kandungan lafadzh-lafadzhnya, hubungan ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadith-hadith nabi saw yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu serta pendapat sahabat dan tabi’in atau pendapat para mufassir lainnya yang dijadikan sumber dalam memperjelas tafsiran beliau yang disebut dengan bi Al-Ra’yi dan Al-Ma’sur guna mengetahui pesan, kesan yang terdapat dalam Al-Quran dan keserasiannya dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat sehingga Al-Quran memberikan jawaban atas permasalahan tersebut (Al-Adabi Ijtimai)





Daftar Pustaka
Ahmad Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Pustaka Setia 2006.
Al-Munawar, Said Agil Husein. Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta; Ciputat Press, 2002
Ghafur,Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008
Ichwan, Nor. Belajar Al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Melalui Pendekatan Shistors Metodologis, Semarang; Rasail, 2005..
Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Cairo: Dar Al- Kutub Al-Haditsah, 1961.
Quraish Shihab, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Quran (Bandung; Mizan, 2007.
Salim, Abdul Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, 2005
Shihab, Alwi Islam Insklusif: Menuju Terbuka dan Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah  Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta :Lentera Hati
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung; Mizan,1999M.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah ; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Qur'an, Jakarta: Lentera Hati.