Penulis : Umi Fatmayanti
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Kalam Ilahi yang merupakan ayat-ayat Allah, yang juga sangat
memesonakan, itu mengakibatkan sebagian kita hanya berhenti dalam pesona bacaan
ketika ia dilantunkan, seakan-akan kitab ini hanya diturunkan untuk dibaca.
Memang, wahyu pertama adalah iqra’ di ulanginya dua kali. Akan tetapi kata ini
bukan sekedar perintah membaca dalam pengertiannya yang sempit, melainkan juga
mengandung makana “teletilah, dalamilah” karena dengan penelitian dan
pendalaman itu manusia dapat meraih sebanyak mungkin kebahagiaan.
Bacaan hendaknya disertai dengan dengan kesadaran akan keagungan Al-Quran,
pemahaman dan penghayatan disertai dengan tadzakur dan tadabbur. Sungguh aneh
jika ada orang yang berdecak kagum dengan mendengar bacaan seorang Qari,
berseru dengan “Allah... Allah” bergembira dan senyum simpul menghiasi
bibirnya, padahal yang dibaca sang Qari adalah ayat ancaman. Itulah salah satu
contoh mereka yang terpesona olah bacaan. Al-Quran mengecam mereka. mereka yang
tidak menggunakan akal dan Qalbunya untuk berpikir dan menghayati Al-Quran
Tafsir Quraish Shihab merupakan tafsir kontemporer yang menampilkan
keindahan bahasa yang khas, menggunakan metode tafsir maudhui dan tahlili berdasarkan
sumber penafsiran yang dapat dikelompokan pada jenis tafsir bi
al-Ra’yi. Dan cenderung bercorak adabi
al-ijtimai.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan tersebut maka pembahasan ini dikhususkan kepada pendekatan Quraish
Shihab dalam tafsir Al-Manar
C.
Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui isi pendekatan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah
BAB
II
DESKRIPTIF
A.
Biografi Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. lahir di Rappang, sulawesi selatan, pada 16 februari
1944. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, beliau berasal dari keturunan arab
terpelajar , shihab merupakan nama keluarga ayahya seperti lazimnya yang
digunakan diwilayah timur. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga
muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti ayahnya
ketika mengajar. Abdurrahman Shihab merupakan sosok yang banyak membentuk
kepribadian bahkan keilmuannya kelak. Ayahnya seorang guru besar di bidang
tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin ujung pandang dan juga
sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) ujung pandang.[1]
Menurut M. Quraish Shihab sejak 6-7 tahun ia sudah diharuskan untuk
mendengar ayahnya mengajar Al-Quran, dalam kondisi sepeti itu, kecintaan
seorang ayah terhadap ilmu yang merupakan sumber motivasi bagi dirinya terhadap
studi Al-Quran. Disamping ayahnya, peran seorang ibu tidak kalah pentingnya
dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk giat belajar terutama
masalah agama. Dorongan inilah yang menjadi motivasi ketekunan dalam menuntut
ilmu agama sampai membentuk kepribadian yang kuat terhadap basis keislaman.[2]
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, beliau
melanjutkan pendidikan menegahnya di malang, sambil nyantri di pondok pesantren
Darul-Hadith Al-Faqihiyyah. Pada 1958 ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima dikelas
tsanawiyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar lc (s-1), pada fakultas ushuluddin
jurusan tafsir dan hadith universitas Al-azhar. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya di fakultas yang sama
pakar tafsir ini meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Quran
di universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada 1969 dengan tesis berjudul Al-Ijaz
Al-Tasyri’iy Lil Al-Quran Al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk
menjabat wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alaudin Ujung
Pandang. Selain itu dia juga diserahin jabatan-jabatan lain, baik didalam
kampus seperti koordinator perguruan tinggi swasta (wilayah VI bagian Indonesia
timur), maupun diluar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia
timur dalam bidang pembinaan mental, selama di Ujung Pandang dia juga melakukan
berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema “ penerapan kerukunan
hidup baragama di Indonesia timur (1975) dan masalah wakaf sulawesi selatan”
(1978).
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikannya dialmamater yang lama, universitas Al Adzhar Pada 1982 meraih
gelar doktor di bidang ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium summa cum laude
disertai penghargaan tingkat pertama di universitas yang sama dengan disertasi
berjudul Nazhm Al-Durar Lil Baqa’iy, Tahqiq Wa Dirasah.
Sekembalinya ke Indonesia sejak 1984 Quraish Shihab ditugaskan di
fakultas ushuluddin dan fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, selain itu, diluar kampus ia juga di percaya menduduki berbagai
jabatan antara lain; ketua majelis ulama Indonesia (pusat), 1985-1998; anggota
lajnah pentashih Al-Quran depatermen agama sejak 1989, anggota badan
pertimbangan pendidikan nasiona (sejak 1989) dan ketua lembaga pengembangan.
Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain
pengurus penghimpunan ilmu-ilmu syariah, pengurus konsorsium ilmu-ilmu agama
departemen pendidikan dan kebudayaan dan asisten ketua umum ikatan cendekiawan
muslim Indonesia (icmi). Disela-sela kesibukannya beliau juga terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Yang tak kalah pentingnya beliau juga atkif dalam kegiatan tulis
menulis disurat kabar pelita, setiap hari rabu dia menulis dalam rubik pelita
hati. Beliau juga mengasuh rubik tafsir al-amanah dalam majalah dua mingguan
yang terbit di jakarta, selain itu beliau juga tercatat sebagai anggota dewan
redaksi majalah ulumul quran dan mimbar ulama keduanya terbit dijakarta.[3]
Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi rektor
IAIN syarif hidayahtullah jakarta pada
1992-1998. Kiprahnya tak terbatas dilapangan akademis, beliau menjabat sebagai
MPR-RI 1982-1987 dan 1987-2002; dan pada 1998, dipercaya menjadi menteri agama
RI.[4]
B.
Karya-karya Quraish Shihab
Quraish Shihab dikenal sebagai penulis yang sangat produktif.
Karya-karya beliau yang berhasil di himpun penulis antara lain:
a.
Membumikan
Al-Quran diterbitkan oleh mizan bulan mei tahun 1992
b.
Secarah
cahaya ilahi diterbitkan oleh mizan bulan September tahun 2007
c.
Wawasan
Al-Quran diterbitkan oleh mizan tahun bulan Agustus 2007
d.
Pengantin
Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati bulan Maret tahun 2007
e.
Mukjizat
Al-Quran diterbitkan oleh mizan bulan April tahun 1997
f.
Dia
dimana-mana “ tangan tuhan dibalik setiap fenomena diterbitkan oleh lentera
hati bulan Juli tahun 2004
g.
Jilbab
diterbitkan oleh lentera hati bulan Juli 2004
h.
Fatwa-fatwa
seputar wawasan agama diterbitkan oleh mizan bulan Desember tahun 1999
i.
Rasionalitas
Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati bulan April tahun 2006
j.
Menjawab
1001 soal keislaman yang patut diketahui diterbitkan oleh mizan bulan Desember
tahun 1997
k.
Tafsir
Al-Misbah pesan, kesan dan keserasian Al-Quran diterbitkan oleh lentera hati
l.
Menyingkap
Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an diterbitkan oleh Lentera
Hati Jakarta 1998
m.
Untaian
Permata Buat Anakku diterbitkan oleh Mizan, 1998
n.
Haji
Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1999
o.
Sahur
Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan 1999
p.
Panduan
Puasa bersama Quraish Shihab, Jakarta: Penerbit Republika,
November 2000
q.
Panduan
Shalat bersama Quraish Shihab, Jakarta: Penerbit Republika,
September 2003
r.
Yang
Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-Qur’an AsSunah Jakarta:
Lentera Hati, 2006
C.
Tafsir Al-Misbah
Tafsir Al-Misbah pertama kali dicetak pada tahun 2001 terdiri dari
volume satu sampai tiga belas kemudian pada tahun 2003 volume 14 sampai 15.
Setiap volume terdiri dari satu, dua atau tiga juz. Tafsir Al-Misbah ditulis dalam bahasa Indonesia yang terdiri
dari 30 juz .
1.
Metode Penelitian Tafsir Al-Misbah
Quraish
Shihab dalam menulis tafsir Al-Misbah
menggunakan metode tafsir maudhui dan tahlili. Al-farmawi
menjelaskan setidaknya ada dua langkah pokok dalam proses penafsiran secara maudhu’i
yakni; mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu maudu’ tertentu dengan
memperhatikan masa dan sebab turunnya serta mempelajari ayat-ayat tersebut
secara cermat dengan memerhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya
dalam perannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan. M. Quraishi
shihab dalam tulisannya tafsir Al-Quran masa kini mengemukakan 8 langkah yang
harus ditempuh dalam menggunakan metode maudhui yakni:
a.
Menetapkan
masalah/ judul masalah
b.
Menghimpun
menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
c.
Menyusun
urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan periode mekah
dan madinah
d.
Memahami
kolerasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.
Melengkapi
pembahasan dengan hadith-hadith yang menyangkut masalah tersebut
f.
Menyusun
pembahasan salah satu kerangka yang sempurna
g.
Studi
tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat
yang mempunyai pengertian yang sama atau mengompromikan umum dan khusus, yang
bersyarat dan yang tanpa syarat atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga
semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam
pemberian arti
h.
Menyusun
kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Quran terhadap masalah yang
dibahas tersebut.[5]
Metode
penafsiran tahlili muncul sejak akhir abad II/ awal abad III
periode pembukuan tafsir sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.[6]
Dalam istilah Dr. Abdul al-farmawi disebut tafsir at-tahlili. Penafsiran ini
berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya berdasarkan
urutan-urutan ayat dan surah dalam mushaf, menonjolkan pengertian dan kandungan
lafadzh-lafadzhnya, hubungan ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadith-hadith
nabi saw. Yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu serta pendapat sahabat dan
tabi’in atau pendapat para mufassir lainnya. Dengan demikian, ciri-ciri tafsir tahlili
dapat dirumuskan sebagai berikut;
a.
Membahas
segala sesuatu yang menyangkut satu ayat itu
b.
Tafsir
tahlili terbagi sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya seperti, hukum,
riwayat dan lain-lain
c.
Pembahasannya
disesuaikan menurut urutan ayat
d.
Titik
beratnya adalah lafadzhnya
e.
Menunjukkan
muhasabah ayat
f.
Menggunakan
asbab an nuzul
g.
Mufasir
beranjak ke ayat lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun pembehasannya
belum selesai karena akan diselesaikan oleh ayat lain
h.
Persoalan
yang dibahas belum tuntas.[7]
Metode
tahlili di pilih Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah karena menurut beliau metode maudhui
yang sering digunakannya pada karya yang berjudul “membumikan Al-Quran dan
wawasan Al-Quran” selain mempunyai keunngulan dalam memperkenalkan konsep Al-Quran
tentang tema tertentu secara utuh. Sebab
menurutnya Al-Quran memuat tema yang tidak terbatas, jadi dengan ditetapkan
judul pembahasan yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan tersebut.
Dengan demikian kendala untuk memahami al-Qur'an secara lebih komprehensip
masih tetap ada.[8]
Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu
surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya,
diantaranya:
a.
Pada setiap awal penulisan surat diawali
dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail,
misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat,
nama lain dari surat.
b.
Penulisan ayat dalam tafsir ini,
dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti
dengan terjemahannya.
c.
Menjelaskan kosa kata yang dipandang
perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat
sebelum maupun sesudahnya.
d.
Kemudian menafsirkan ayat yang
sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan
menukil hadith Nabi yang berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.
Adapun berdasarkan sumber penafsiran
yang dipergunakan tafsir Al-Misbah dapat
dikelompokan pada jenis tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir
bi al-Ra’yi adalah menafsirkan melalui pemikiran
atau ijtihad, dengan cara menggunakan fenomena sosial yang menjadi latar
belakang dan sebab turunya ayat, kemampuan dan pengetahuan kebahasaan,
pengertian kealaman dan kemampuan Intelegensia[9]
Ada dua sumber yang digunakan dalam
tafsir Al-Misbah : Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua,
dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan
yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu
maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir Al-Misbah bukan semata-mata
hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya
mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu
menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya
hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan
kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil,
khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M)
yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi
penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula
karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi,
juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad
Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar
tafsir yang lain[10]
Dalam menafsirkan
tafsir a-Misbah juga tidak lepas dari jenis tafsir bi al-Ma’sur,
yaitu
cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash
al-Qur’an, Sunnah Rasullalah SAW, pendapat sahabat ataupun perkataan tabi’in[11]
2.
Corak Tafsir Al-Misbah
Berdasarkan
beragam pendekatan yang ditempuh oleh seorang mufasir, Dr. Abdul hay al-farmawi
pada tujuh corak salah satunya tafsir adabi ijtima’i. Tafsir Al-Misbah cenderung bercorak adabi al-ijtimai
(bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan). Tokoh utama aliran ini adalah
syeikh Muhammad Abduh, dan diikuti oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan
kemudian diikuti oleh mufasir-mufasir lain, tampaknya tafsir yang dikembangkan
oleh Muhammad Abduh yang kemudian dikenal dengan aliran adabi ijtima’i
bertitik tolak dari kerangka berfikir yakni Al-Quran mengandung berbagai
dimensi ajaran: akidah, hukum, moral (akhlak), ekonomi, politik,
kemasyarakatan, seni, ilmu pengetahuan dan lainnya. Ia berbicara dalam berbagai
objek dan realitas. Dengan titik tolak itu, Abduh berusaha menghindari cara
penafsiran yang ditempuh oleh penafsiran sebelumnya yang seolah-olah menjdikan Al-Quran
terlepas dari akar kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok. Mereka terhempas dalam pertikaian mazhab-mazhab dan aliran sehingga
tidak jarang Al-Quran dipaksa untuk tunduk kepada ide dan pendapat mazhab
masing-masing. Akibatnya, ruh dan tujuan Al-Quran menjadi terlantarkan.
Menurut
Quraish Shihab tafsir yang berorientasi pada sastra dan kemasyarakatan ialah
tafsir yang menitik beratkan penjelasan
ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksi Al-Quran, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan Menonjolkan
tujuan utama dari tujuan turunnya Al-Quran yaitu membawa petunjuk dalam
kehidupan, kemudian menggandengkan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Ada
empat hal yang dianggap sebagai ciri pokok dari tafsir adabi-ijtimai
yaitu;
a.
Memperhatikan
ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Quran
b.
Menguraikan
makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
c.
Aksentuasi
yang menonjol pada tujuan utama turunnya Al-Quran
d.
Penafsiran
ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam
masyarakat[12]
Corak
penafsiran ini ditekankan bukan hanya ke dalam tafsir lughawi, tafsir fiqh,
tafsir ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan pada
kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat yang kemudian disebut corak tafsir
Adabi al-Ijtimā'i. Corak tafsir Al-Misbah merupakan salah satu yang menarik pembaca dan
menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali
makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.[13]
D.
Contoh tafsir Al-Misbah
kelompok VI ayat 51-56 surah Al-Ma’idah
1.
Penjelasan Nama Surah
Nama yang paling populer dari kumpulan ayat-ayat berikut adalah
surah Al-Maidah yakni hidangan, karena dalam rangkaian ayat-ayatnya terdapat
uraian tentang hidangan yang diturunkan atas permintaan ahl al-kitab (ayat
112-215). Nama lainnya dalah surah-surah Al-Uqub/ akad-akad perjanjian,
karena ayat pertama surah ini memerintahkan kaum beriman agar memenuhi
ketentuan aneka akad yang dilakukan. Surah ini dinamai juga surah Al-Akhyar
/ orang-orang baik, karena yang memenuhi tuntunannnya menyangkut ikatan perjanjian
pastilah orang baik. Surah ini dinamai juga Al-Munqidzah / penyelamat.
Diriwayatkan bahwa Nabi muhammad saw. Bersabda: “ surah Al-Ma’idah dinamai Malakut
As-Samawat (kerajaan Allah yang maha tinggi) dengan nama surah Al-Munqidzah,
karena ia menyelamatkan pembaca dan pengamal tuntunannya dari malaikat
penyiksa.
Al-Biqai berpendapat bahwa tujuan utama dari surah ini mengajak
untuk memenuhi tuntunan Ilahi yang termaktud dalam kitab suci yang didukung
oleh perjanjian yang dilakukan oleh nalar yakni berkaitan dengan keesaan Allah
pencipta, serta berkaitan dengan limpahan rahmad terhadap makhluk, sebagai
tanda syukur atas nikmatnya, dan permohonan menolak murkanya. Kisah Al-Maidah
yang menjadi latar belakang pemahaman surah ini, merupakan bukti yang sangat jelas
tentang tujuan tersebut. Kandungan kisah itu memperingatkan bahwa siapa yang
menyimpang sehingga tidak merasakan ketenangan setelah datangnya penjelasan
sempurna, maka dia dihadapkan kepada tuntunan pertanggung jawaban serta
terancam oleh siksa. Penamaannya dengan surah Al-Uqud merupakan bukti
tentang tujuan utama uraian surah itu. Demikian Al-Biqa’i
Seperti telah diuraikan sebelumnya antara lain dalam tafsir surah
Al-Fatihah pakar tafsir ini berpendapat bahwa tujuan setiap surah Al-Quran
dapat ditentukan melalui nama surah itu.[14] Untuk
contoh kelompok VI surah al-ma’idah ayat 51-56 tentang pemimpin secara lebih
rinci pembaca dapat merujuk langsung kepada tafsir Al-Misbah volume 3.
BAB III
ANALISIS
A.
Analisis Isi Tafsir Al-Misbah Kelompok VI
Ayat 51-56 dalam surah An-Nisa menjelaskan
tentang memilih pemimpin. dalam tafsir Al-Misbah dimulai dengan mengumpulkan
tema-tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah pemimpin yakni dalam hal
ini dimulai dari ayat 51-56 yang terdapat dalam surah An-Nisa dan di dukung
oleh ayat-ayat dalam surah lain yang masih memiliki hubungan dengan tema
kepemimpinan seperti surah Al-Mumtahanah
(ayat 1,8, 9), surah Al-Maidah ayat 51, Al-Ahzab ayat 12, Al-kahfi ayat 23, dan Al- Mujadalah ayat
22, tafsir ini dilengkapi dengan hadith seperti
hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan para muffasir lainnya seperti
Thabathabai’i, Muhammad Sayyid Thanthawi, dan Al- Biqa’i dan terakhir adanya kesimpulan yakni bukan
hanya orang-orang Yahudi yang dilarang menjadi auliya’ tetapi juga
orang-orang munafik dan mereka yang ada penyakit didalam jiwanya dan sifat
orang-orang beriman yang hendaknya dijadikan auliya’ yang terbukti
ketulusan iman mereka, mendirikan sholat pada waktunya secara benar dan
berkesinambungan menunaikan zakat dengan tulus dan sempurna tunduk kepada Allah
dan melaksanakan tuntunannya. wali mutlak hanya Allah, kemudian Rasul dan
orang-orang beriman yang pada hakekatnya juga menjadikan Allah sebagai wali
metode inilah yang disebut dengan maudhu’i
sedangkan kandunagn lafdazh yang dimuat dalam
tafsir ini seperti تتخذوا , أوليا , عسى , فتح diterjemahkan sesuai dengan peristiwa atau
asbabun nuzulnya . seperti kata kata فتح
fath/kemenangan dalam Al-Quran pada umumnya menunjuk pada peristiwa kemenangan
Rasul saw memasuki dan menguasai kota mekah, walau tidak semua kata fath
bermakna demikian. dalam ayat ini boleh jadi yang dimaksud adalah fath
makkah boleh jadi juga keberhasilan mengusir Yahudi yang berkhianat dari kota madinah, atau
kemenangan umat terhadap musuh-musuh mereka kapan dan dimana pun. metode inilah
yang dinamakan dengan tahlili.
Sedangkan
menurut sumbernya termasuk jenis tafsir bi Al-Ra’yi karena didalam
menafsirkan tafsir Al-Misbah menggunakan sumber-sumber rujukan para muffasir
lainnya seperti Thabathabai’i, Muhammad Sayyid Thanthawi, dan Al-Biqa’i.
M.Quraish shihab juga menggunakan tafsir bil Al-Ma’sur
seperti hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan dari nash seperti surah
Al-Mumtahanah ayat (1,8, 9), surah Al-Maidah ayat 51, Al-Ahzab ayat 12,
Al-Kahfi ayat 23, dan Al- Mujadalah ayat 22,
Satu diantara kesulitan kita dalam
bermasyarakat adalah sulitnya memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang
baik hal inilah yang di tonjolkan corak adabi al-ijtimai yang memberikan
pesan dari Al-Quran sebagai jawaban permasalahan masyarakat yang tercermin
dalam tafsir Al-Misbah pada kelompok VI ialah sifat orang-orang beriman yang
hendaknya dijadikan auliya’ yang terbukti ketulusan iman mereka,
mendirikan sholat pada waktunya secara benar dan berkesinambungan menunaikan
zakat dengan tulus dan sempurna tunduk kepada Allah dan melaksanakan
tuntunannya inilah yang harus digali dari makna-makna dan rahasia Al-Quran yang
bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi al-ijtimai).
BAB IV
Penutup
Quraish
Shihab dalam menulis tafsir Al-Misbah
menggunakan metode tafsir maudhui yakni; mengumpulkan ayat-ayat
yang berkenaan dengan satu maudu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab
turunnya serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memerhatikan
nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam perannya untuk menunjuk pada
permasalahan yang dibicarakan selain itu juga beliau menggunakan metode tafsir at-tahlili.
Penafsiran ini berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai
seginya berdasarkan urutan-urutan ayat dan surah dalam mushaf, menonjolkan
pengertian dan kandungan lafadzh-lafadzhnya, hubungan ayat-ayatnya, sebab-sebab
nuzulnya, hadith-hadith nabi saw yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu serta
pendapat sahabat dan tabi’in atau pendapat para mufassir lainnya yang dijadikan
sumber dalam memperjelas tafsiran beliau yang disebut dengan bi Al-Ra’yi dan
Al-Ma’sur guna mengetahui pesan, kesan yang terdapat dalam Al-Quran dan
keserasiannya dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat sehingga Al-Quran
memberikan jawaban atas permasalahan tersebut (Al-Adabi Ijtimai)
Daftar
Pustaka
Ahmad
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Pustaka Setia 2006.
Al-Munawar, Said Agil Husein. Al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta; Ciputat Press, 2002
Ghafur,Saiful Amin. Profil Para
Mufassir Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008
Ichwan, Nor. Belajar Al-Qur’an,
Menyingkap Khasanah Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Melalui Pendekatan Shistors Metodologis,
Semarang; Rasail, 2005..
Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir
Wa Al-Mufassirun, Cairo: Dar Al- Kutub Al-Haditsah, 1961.
Quraish
Shihab, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Quran (Bandung; Mizan,
2007.
Salim, Abdul Mu’in, Metodologi
Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, 2005
Shihab, Alwi Islam Insklusif:
Menuju Terbuka dan Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta
:Lentera Hati
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung; Mizan,1999M.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah
; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Qur'an, Jakarta: Lentera Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar